1. News
  2. Kombitainment
  3. Eksklusif Morgensoll: Last Ever Interview

Eksklusif Morgensoll: Last Ever Interview

eksklusif-morgensoll:-last-ever-interview
Eksklusif Morgensoll: Last Ever Interview

Morgensoll. “Satu lagi band yang namanya menimbulkan pertanyaan,” itulah isi pikiran saya saat pertama kali menemukan band ini. Masih teringat jelas momen perdana saya berjumpa dengan Morgensoll di sebuah malam minggu di bulan Oktober tahun 2022. Human Capital Vol. 5 adalah nama perhelatannya.

Niat awal hadir di acara tersebut adalah untuk menyaksikan comeback show Pelteras yang sebelumnya sudah lama absen di panggung musik. Malam itu yang tampil selain Pelteras adalah Enola, Fleuro, Vvachrri, dan tentunya Morgensoll.

Seperti yang pernah saya tulis di artikel liputan Human Capital Vol. 5 ini, kesan pertama saya terhadap Morgensoll saat salah satu penonton meneriakan, “Mana liriknya?”, saat band tampil. Saat itu Morgensoll masih menampilkan musik post-metal instrumental dalam katalog mereka.

Sejak saat itu karya-karya Morgensoll selalu jadi musik wajib yang saya dengarkan di setiap kesempatan. Tak terduga, tiga tahun setelahnya, tepatnya tahun 2025, harus menghadapi kenyataan bahwa band ini memutuskan bubar. Show terakhir mereka akan dilangsungkan di Synchronize Fest 2025, bulan Oktober mendatang.

Kaget? Pasti. Karena sepanjang pertengahan tahun 2024 sampai tahun ini banyak sekali gebrakan yang disebabkan oleh band ini. Mulai dari merilis album Colors yang menandai perubahan genre mereka ke post-hardcore, sampai penarikan semua katalog mereka di salah satu platform musik demi solidaritas kepada Palestina.

Kabar bubar berkumandang, tentu kami tergerak untuk mewawancarai langsung Morgensoll. Setelah mengatur janji dengan Haecal Benarivo (gitar), akhirnya kami pun berkesempatan melakukan kunjungan ke kediaman Rivo (21/09) dan mewawancarai Morgensoll dengan personel lengkap.

Personel saat ini Haecal Benarivo (gitar), Faiz Aditya (bas, vokal), Yohanes Delvin (gitar), Bagas Wisnu (drum), dan Raissa Faranda (gitar).

Saat saya bilang kediaman Rivo, maksud saya adalah kamar pribadinya yang beken dengan sebutan Kamar Bising. Sambutan hangat dari anak-anak Morgensoll membuat suasana pra-wawancara sangat menyenangkan dan dipenuhi senda gurau yang menggembirakan.

Suasana santai sesi last ever interview bersama Morgensoll di Kamar Bising / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Sesi wawancara pun dimulai dengan pertanyaan perihal penarikan sebagian besar karya Morgensoll di salah satu layanan streaming. Menurut Rivo, keputusan tersebut diambil tentu karena alasan kemanusiaan, di mana karya yang ia dan rekan-rekannya ciptakan dasarnya datang dari rasa, dan perasaan mereka kepada isu ini sangat besar.

“Gue bikin lagu itu semuanya pakai rasa. Pakai apa yang gue rasain. Terus kayak gue melihat semua (kejadian) itu rasanya sedih banget. Sebenarnya ini (tentang) kemanusiaannya aja sih,” kata Rivo.

Faiz Aditya (Adit) yang setuju pada pandangan Rivo pun menambahkan dengan mengakui bahwa keputusan ini cukup berat. Hal ini ia rasakan setelah melihat banyak komentar di media sosial yang mendukung namun juga sedih dengan tindakan Morgensoll.

Sebagai personnel paling baru, pandangan Raissa tentang keputusan bandnya ini jadi yang paling menarik. Musisi yang juga seorang solois dengan nama GUNGS ini bilang bahwa Morgensoll diberikan kesempatan untuk menyatakan sikap, karena mereka mampu melakukannya.

“Morgensoll tuh diberi kesempatan untuk menyatakan sikap tersebut, karena emang Morgensoll mampu melakukan itu. Ini bentuk sikap perihal kemanusiaan tersebut. Terus kalau secara pribadi, kayak misalnya ngeliat respons orang-orang banyak yang sedih, tapi dengan ada Bandcamp tersebut juga kayaknya banyak yang senang juga. Maksudnya kayak mereka jadi punya platform lain untuk di-explore,” ucap Raissa.

Obrolan pun berlanjut ke berbagai topik yang berkutat di aktivitas bermusik Morgensoll selama beberapa tahun terakhir, keputusan bubar di Synchronize Fest 2025, sampai rencana setiap individu ke depan pasca Morgensoll.

Wawancara ini bisa jadi yang terakhir kali bagi Morgensoll menyampaikan ceritanya dalam formasi lengkap. Simak obrolan kami di bawah ini.


Kalian kan baru aja merilis rekaman live saat kalian tampil di Utrecht, apa sih yang paling berkesan saat tur Eropa dan kenapa penampilan di Utrecht yang dijadiin rekaman resmi?

Rivo: Waktu itu tuh ternyata yang emang direkam beneran pas (kami main) di venue namanya ACU, di Utrecht. Itu kayak bar kecil sebenarnya, terus di belakangnya ada venue yang lumayan besar. Se-Krapela kali ya? Gak, setengahnya gitu kali ya, memanjang gitu.

Ya senang banget bisa berangkat ke (Eropa) sana, tapi buat gue pribadi ada sedihnya juga karena kami gak berangkat full team. Adit visa-nya gak keterima, Denisa (sebagai kolaborator) juga sama, jadi kayak kalau full team bisa lebih seru lagi.

Momen paling menyenangkannya pas tur Eropa kemarin adalah pas baru nyampe di Amsterdam terus akhirnya kami check-in di hotel. Lagi free time gitu, akhirnya kami memutuskan untuk jalan-jalan lah. Ada gue, Johnny, Bagas, (Yulio) Onta (Manager Denisa yang membantu Morgensoll selama di Eropa), sama ada satu teman kami namanya Letoy. Kami memutuskan kayak, “Ayo kita jalan-jalan yuk ke Beer Garden.” Ada Beer Garden gitu di Amsterdam tuh. Terus di deket Beer Gardennya itu ada satu taman yang ada danaunya. Birnya di situ enak banget. Terus di taman itu kayak, gue seneng aja nongkrong sama temen-temen gue di situ, udaranya juga dingin banget. Buat gue paling nyangkut itu. Dan akhirnya pas balik ke Jakarta tuh kayak, “Anjir gue kangen banget ya ngelakuin itu lagi.

Bagas: Sama pas ketemu idola lo dong.

Rivo: Oh iya, itu juga sih. Akhirnya kami main di dunk!fest, terus ketemu idola-idola lah, kayak Amenra, Caspian, gitu-gitu sih.

Wuih, lo ketemu Amenra?

Rivo: Ketemu, gue tampol [tertawa]. Gak, gak, becanda gue. Padahal gue dikasih pick tuh [tertawa]. Tapi Johnny kayaknya punya cerita lebih banyak sih. Soalnya dia lebih sering jalan sendirian pas di Eropa.

Jon: The whole journey-nya sih yang seru. Mulai dari kumpul nyiapin semuanya, dapat-dapat kabarnya kalau kami bisa main ke Eropa, nyari-nyari duitnya, terus mulai perjalanannya. Dari di airport. di pesawat, sampai transit segala macam. Itu emang personally gue demen momen-momen perjalanan itu. Kalau selama di sananya, pastinya grateful, karena gue gak expect bisa ke sana lagi setelah berapa tahun gitu. Sebelumnya udah pernah ke sana, tapi kali ini gue ngelakuin hal yang gue sangat suka, main musik. Gue pikir gue ke sana cuma buat liburan lagi, atau mungkin kerja, tapi ini gue main musik gitu. Itu kayak impian lah.

Jon tidak menyangka bisa mengunjungi Eropa sebagai musisi / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Mulai dari persiapan tiap-tiap venue, itu juga menyenangkan. Terus ngerasain tinggal bareng sama temen-temen yang mungkin selama ini gak pernah kejadian gitu kan. Itu juga jadi cerita-cerita yang menyenangkan dan jadi pengalaman-pengalaman baru. Main di festival gede, tapi di Eropa gitu, pastinya itu feeling dan teknisnya berbeda banget. Itu juga jadi pengalaman yang menarik dan bagus banget buat dibawa ke sini, diceritain dan di-share ke temen-temen di sini.

Adit: Lo gak cerita yang lo berantem sama Bagas? [tertawa].

Raissa: Iya, ada yang berantem gak?

Jon: Ya pastilah. Gue tuh senengnya kalau misalkan kayak kami nih, gak pernah tinggal bareng, terus tiba-tiba harus tinggal bareng dalam waktu yang agak lama, kami tuh nemuin sisi jelek sama baiknya tiap orang gitu loh.

Raissa: Bagas jeleknya apa?

Jon: Apa ya? Ya biasanya berantemnya kan… Maksudnya normal aja gitu. Gak yang gimana-gimana.

Bagas: Tapi kayaknya waktu itu juga capek juga sih.

Jon: Betul.

Rivo: Terus waktu itu si doi, si Bagas, rempong lah intinya, banyak komentar. Jon langsung (ngomong), “Bacot lo!” Di hari itu gue sama Onta ketawa ngakak.

Jon: Maksud gue tuh kayak dia (Bagas) mikirin hal yang gak penting gitu menurut gue. Tapi ya, sebenarnya maksudnya care kan.

Bagas: Ya kalau gue, ya (saat itu) belum pernah ke Eropa juga ya. Terus kayak lo berkesempatan untuk ngeband di situ, tur jauh sama teman-teman lo, ya seru banget. Pecahnya ya pasti di dunk!fest, yang ternyata penontonnya pack juga ya. Kayak klise gitu ya, tapi energinya tuh kayak, “Anj*ng gue udah nyampe sini bareng temen-temen gue.

Beberapa hari setelah rilis Live From Utrecht, kalian rilis maxi-single isi 2 lagu, Better Days. Apa benang merah rilisan ini dan apakah ini semacam surat perpisahan Morgensoll?

Rivo: Gue pribadi, iya. Surat perpisahan buat temen-temen semua lah. Dua lagu itu kan yang nulis liriknya Denisa, dia tuh temen dekat gue dan kami semua lah. Gue pengin lagu itu nyeritain Morgensoll dari perspektif orang lain gitu loh. POV orang lain melihat Morgensoll tuh kayak gimana, kayak gitu sebenarnya. Tapi lagu itu pun juga sebenarnya tribute buat Almarhum Sesa (Adiaksa, mantan gitaris Morgensoll). Waktu ngerjainnya yang lagi gue rasain sih seperti itu. Kayak gue merasa, “Ini buat Sesa,” kayak gitu. Gue pengin keluarin semuanya. Ini buat kalian semua lah.

Untuk cover-nya Better Days siapa yang ngerjain?

Raissa: Gue yang foto

Oh gitu. Sejujurnya gue agak kaget sih pas lihat cover-nya kayak gitu. Gimana proses lo dapat foto itu Rai?

Raissa: Sebenernya itu unintentionally gitu sih. Jadi gue tuh kemarin lagi ambil sertifikasi yoga di Bandung, terus gue punya Oma yang tinggal di Bandung. Lebih tepatnya dia adiknya Nenek gue nih, namanya Oma Rita. Jadi gue tinggal di rumahnya buyut gue lah di Bandung, terus gue ngobrol-ngobrol sama dia. Oma Rita tuh doyan banget fotografi nih, terus dia bilang kalau ternyata Almarhum Kakek gue juga doyan fotografi. Gue jadi keinget, “Oh iya ya, apa jangan-jangan di rumah gue banyak kameranya Almarhum Kakek gue?” Akhirnya pas gue pulang dari Bandung, gue ngulik-ngulik di gudang, ketemulah kamera digital, tapi itu Pentax. Akhirnya gue benerin sama Rivo nih ke Pasar Baru, karena sempat rusak. Benerin apa segala macem, gue juga beli roll film. Beberapa minggu setelahnya gue ke Bandung nyamperin Oma gue lagi, gue foto-foto aja tuh pake itu Pentax, sambil gue sertifikasi yoga segala macem, foto-foto, abis itu gue cetak. Abis kelar cetak, gue tuh buka Google Drive-nya di samping Rivo, abis itu Rivo kayak, “Rai, bagus banget itu.” Terus dia kayak milih, “Yang ini kali ya.

Foto Rai digunakan untuk sampul maxi-single Better Days / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Jadi foto di cover itu Oma lo?

Raissa: Itu adik-adiknya Nenek gue, Oma Rita sama Oma Medi.

Jadi itu bukan foto ‘Oma-Opa’ ya?

Raissa: Bukan. Itu ‘Oma sama Oma’, dua-duanya, adik-kakak.

Semua personel: Oh… (secara serempak).

Raissa: Yang lain juga baru tau [tertawa].

Kenapa Vo lo kepikiran foto itu yang jadi artwork?

Rivo: Gue rasa foto itu tuh sangat romantis banget.. Itu kan juga fotonya di rumah gitu, jadi kayak apa ya… Rasanya hangat dan tenang. Mungkin itu yang gue rasain sama anak-anak Morgensoll kali ya. Maksudnya kayak… Morgensoll buat gue tuh adalah rumah yang sangat nyaman. Ya gue pas bikin Morgensoll, masih kecil ya waktu itu.

Umur berapa waktu itu Vo?

Rivo: Umur 2 kalau gak salah [tertawa]. Udah jago banget tuh gue main gitar di umur 2 tuh [tertawa]. Maksudnya kayak pada saat itu tuh gue nyari media buat gue ngeluarin apa yang harus gue rasain gitu. Gue ngerasa itu semuanya tuh ada di Morgensoll gitu. Sampai sekarang kayak gitu. Dan ya selamanya sih yang gue rasain akan kayak gitu terus. Gue pun ini bubar juga gak nyaman nih gue sebenernya [tertawa]. Cuma kayaknya rasanya itu aja yang harus gue lakuin, cukup kayak gitu.

Berat, tapi perjalanan Morgensoll dirasa sudah cukup oleh Rivo / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Gue rasa artwork fotonya Rai yang kemarin difotoin tuh bisa mencerminkan apa yang gue rasain lah. Kayak tempat yang sangat nyaman itu adalah rumah. Romantis banget rumah itu. Ada masalah atau gak, gue bakal tetap bareng-bareng dan akan tetap sayang sama temen-temen gue lah. Jadi kami bubar pun, menurut gue kami akan temenan terus sampai mati. Itu juga karena kami anak emo sama pop punk aja sih [tertawa]. “Ya udah, kita temenan sampe mati.” Emang dasarnya gue, Jon, sama Bagas anak pop punk sih.

Morgensoll pernah tur bareng Denisa dan Pelteras di bawah nama The City Crypts, menurut kalian apa sih benang merah ketiga entitas musik ini? Selain pertemanan tentunya.

Rivo: Kami mungkin punya mood yang sama gitu kali ya, dan punya cerita yang sama yang pengin diceritain. Mungkin kayak gitu sih. Ya Pelteras atau Denisa mungkin punya ceritanya masing-masing, cuma gue rasa keresahannya sama kayak Morgensoll juga. Cuma mungkin kami gak bisa… nyampein dari nyanyinya gitu mungkin kali ya. Mungkin kami nyampeinnya lebih teriak-teriak. Adit mungkin juga punya keresahan yang sama kayak anak-anak TCC, makanya jadi nyambung kali ya?

Adit: Iya mungkin ya.

Rivo: Adit mungkin harus cerita nih, kenapa lo nulis Colors?

Adit: Kalau Colors kan memang gue merasa, “Anj*ng, susah banget nih lihat warna.” Ya udah gue bikin satu lagu, “Eigengrau” yang memang nyeritain (kondisi) itu. Eh, lama-lama keterusan bikin lirik-lirik tentang bentuk keresahan lain.

Cuman kalau misalnya kami sama Pelteras dan Denisa gitu, emang resah semua. Musiknya memang musik-musik resah. Gue juga kan baru temenan sama mereka gara-gara Morgensoll juga gitu kan, ternyata kami punya perspektif yang sama di dunia misalnya, sesimpel kayak politik atau apa gitu, itu stance-nya udah sama nih. Sama orang-orangnya kalau ngeluarin pendapat pada kayak lucu banget keluarnya. Jadi ya buat gue itu aja sebenernya.

Adit menjelaskan tentang Morgensoll dan The City Crypts / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Raissa: Kalau gue kan gak tau awalnya The City Crypts gimana, kan gue baru masuk pas tur leg 2-nya kan. Buset baru setahun nih gue, udah bubar. Anj*ng lo Morgensoll! [tertawa].

Kalau sama Pelteras dan Denisa, selain pertemanan gue gak bisa menemukan apa pun, karena kebetulan sebelum gue masuk Morgen gue juga berteman sama Techa (Aurellia, vokalis Pelteras) pas main skate, terus sama Denisa satu kampus, terus akhirnya tiba-tiba Rivo ngajakin gue main di Morgen, jadi kayak gue malah ngerasanya nongkrong, tapi keliling sambil main musik aja gitu kalau sama TCC.

Adit: Gue tau. Karena ketiga band ini bikin musiknya gelap. Jadi mau ngeluarin apa yang disampein, jadinya gitu.

Rivo: Dan ini, kami semua anak emo [tertawa].

Apa sih arti main di Synchronize Fest sebagai aksi terakhir kalian? Ini tuh keputusan mendadak atau sesuatu yang sudah direncanakan jauh hari?

Rivo: Main di Synchronize itu tiba-tiba, karena satu, kami tuh gak ngerencanain sama sekali untuk bikin farewell show. Sebenarnya dari gue pribadi punya keinginan juga ya untuk bikin farewell tour, cuma kayaknya kami gak mampu melakukan itu. Terus tau-tau di Synchro nawarin lah buat TCC, sekaligus Morgen buat last show-nya, terus mau deh, kayak gitu aja. Jadi sebenarnya itu suatu hal yang dadakan, gak direncanain sama sekali. Yang kami rencanain tuh malah rilis si Better Days, abis itu udah, beres, gitu doang.

Adit: Menyangkut sama yang tadi kami gak menyanggupi untuk tur, itu benar, tapi di saat yang sama kalau di Synchro kan orang-orang dari daerah-daerah yang tadinya mau kami jamah, mereka juga pada ke Synchro juga tuh, jadi kayak momen yang pas untuk jadiin ini kayak last show-nya Morgen.

Jon: Kalau gue tuh ada ceritanya dan kayaknya ini ngepas aja gitu. Momen di mana gue gak main (sama Morgensoll) lagi itu semenjak Pespor tahun lalu. Jarang-jarang nih Morgen main di sebuah festival yang seru. Terus gue gak ikut main karena ada satu dan lain hal. Semenjak saat itu gue memang udah gak main lagi, karena emang pada akhirnya tidak memungkinkan buat gue main. Pada akhirnya Rai yang main kan habis itu. Terus TCC lanjut, tur leg 2 dan segala rilisan juga Rai yang ikut, segala macam. Terus ya, ini memang gak kami ngerencanain kan, tapi menurut gue, ketika dikasih kesempatan di Synchro, berarti kami emang nutupnya tuh di satu tempat yang pas aja sih. Gimana ya? Tempatnya pas aja sih, kayak gitu lah. Maksudnya kami nutupnya di suatu festival yang banyak orang bisa nonton di satu tempat gitu kan. Udah sih, gitu aja sih. Buat gue pribadi, gue yang kemarin tahun lalu gak sempat main di festival, “Oh, gue sekarang jadi punya kesempatan nih buat main, nyobain festival. Meskipun beda festivalnya.

Kalau dari lo gimana Rai, kenapa Synchro? Apakah karena lo pernah terlibat di dalam Synchronize Radio?

Raissa: Gak sih, tapi sebenarnya sebelum anak-anak Synchro tuh ngontak ke Rivo atau ke Onta, mereka tuh udah sempet nanya sebenarnya ke gue kayak,

Rai, Morgen bubar?

Gue jawab, “Iya nih, bubar kayaknya tahun ini.

Serius, mau gak sih last show?

Lo jangan tanya ke gue deh, gue cuma anak bawang. Lo langsung kontak aja ke Rivo,” gue bilang gitu.

Akhirnya diobrolin, terus ya udah jadi si last show ini. Gitu aja sih.

Lo sendiri sebagai yang paling baru gimana sih ngelihat bubarnya Morgensoll?

Raissa: Apa ya? Semua orang tuh kan banyak yang nge-reply story gue ya kayak, “Lo baru masuk Rai, baru setahun.” Cuma kayak pas akhirnya pun bubar, kalau di gue pribadi tuh gak ada rasa gimana-gimana, karena ternyata gue sangat menyenangi pertemanannya gitu loh. Maksudnya kayak gue tau, walaupun bandnya bubar, gak main musik bareng lagi, tapi gue tau kalau gue galau tinggal, “Vo, gue ke rumah lo ya,” yang kayak gitu, boleh kan Vo? [tertawa].

Rivo: Kita sibuk sih. Kita sibuk banget [tertawa].

Raissa: Anj*ng ya orang nih, sumpah dah. Walaupun gue anak paling baru, tapi kalau bareng mereka tuh kayak gue ngerasa udah temenan 27 tahun. Padahal umur gue 25 [tertawa]. Tapi ya gitu sih. Gak tau tadi pas Johnny ngomong, gue jadi sedih anjir dengernya, tapi ya udah. Nih dia (Bagas) nih yang paling gak sedih, coba lo cerita coba.

Bagas: Entar aja udah.

Rivo: Dia mah sedihnya entar japri gue.

Kalau misalnya flashback ke awal Morgensoll berdiri, apa momen paling berat dan paling manis yang kalian rasa selama menjalani band ini?

Rivo: Sebenarnya kalau momen berat ya kami gas-gas terus sih. Cuma awal mulanya ini semua kan dari gue, terus ketemu si Bagas, di situ gue udah bikin beberapa materi. Gue pengin banget nih orang main drum di band gue, akhirnya dia mau. Awalnya dia minta bayaran tuh, minta gope, gue bayar dah tuh. Gue bayar pakai duit gue sendiri tuh. Lama-lama kayak, “Oh, nyantai nih anaknya.” [tertawa].

(Formasi) Awalnya Morgen tuh ada gue, si Bagas, Oyoy ‘Godplant’, habis itu ada temen gue namanya Ferdi, dia tuh punya toko di Pasar Santa, namanya gue lupa. Nah, sebelum Bagas tuh dulu ada Gicing-nya Godplant. Rayhan Noor (Lomba Sihir) juga.

Raissa: Hah, ada Rayhan Noor?

Rivo: Ada, Rayhan Noor dulu sempat bantuin. Agam ‘Fleeting Echo’ juga sempat main tuh. Jadi waktu itu kami sempat main, isinya gitaris semua. Wah, jago banget tuh semuanya isinya tuh. Terus kayak, “Wah, ini gak beres nih, band isinya gitaris semua.

Gue nemuin Bagas tuh pas lagi nonton Tarrkam kayak, “Wah anj*ng, gila drummer-nya mantep banget.” Terus kan gue sekampus sama Oyob (pemain bas Tarrkam), gue minta kontaknya si Bagas lah ke dia, sampai akhirnya gabung. Kami sempat manggung bareng Oyoy dan Ferdi, sampai akhirnya Godplant udah mulai sibuk…

Oh, sempat manggung berarti dengan formasi itu ya?

Rivo: Sempat. Kayaknya lumayan berkali-kali dah, sampai di BSD segala. Nah, kalau ketemu Johnny di acara gue di Borneo (Beer House) dulu tuh. Di acara itu, gue ngajak Godplant, Morgen juga main, terus band-nya Johnny namanya Manumanasa. Pokoknya waktu itu gue juga lagi pengin bikin acara di Cubicle, karena ngerilis satu single tuh, akhirnya gue ngajak si Johnny, gara-gara si Oyoy gak bisa, abis itu Bagas ngajak Almarhum Sesa. Dari situ tuh Morgen jalan berempat. Anj*ng, sedih juga ya [tertawa lirih]. Dari situ lanjut berempat, terus beberapa kali Almarhum tuh gak bisa, akhirnya digantiin Adit. Sebelum (pandemi) Covid tuh Adit udah sering bantuin. Abis Covid Petir (Saputra, MORFEM, Eleventwelfth, Rejected Kids, dan banyak band lainnya) sempat masuk tuh…

Pergantian formasi Morgen udah kayak Slank loh…

Rivo: [tertawa] Mayan. Pokoknya Bang Petir sempat masuk, manggung sekali, abis itu dengan semua jadwalnya Bang Petir kan sibuk banget tuh dia tuh, banyak banget bandnya tuh. Akhirnya kayak, “Bang Petir, sorry banget kita gak bisa lanjut nih.” Ya udah akhirnya Adit aja deh.

Adit: Ada tuh fotonya gue salaman sama Petir pas lagi tukeran posisi.

Rivo: Adit masuk, terus kami punya manajer juga, namanya Luki (Indra Malik), drummer-nya Kinder Bloomen, dia teman kecil gue juga. Ya udah, lanjut terus deh sampai sekarang.

Adit: Terus Rai deh masuk.

Rivo: Pertanyaan lo kejawab gak sih sebenarnya? [tertawa]. Gue curhat doang sih sebenarnya [tertawa].

Paling yang momen manis selama perjalanan Morgensoll sih.

Rivo: Buat gue pribadi paling manis tuh pas udah ketemu mereka semua ini sebenarnya. Pas ketemu si Bagas, abis itu Jon masuk, terus kayak mulai band ini bertiga dan masih bertahan juga. Terus ada Adit, sampai akhirnya ada Rai, itu menurut gue pribadi semuanya hal romantis sih. Karena kayak kami semua awalnya dari temenan terus kayak ternyata gue sama Bagas dan Johnny suka musik pop punk, kayak gitu loh. Johnny suka A Day To Remember, Bagas suka Blink-182, gitu-gitu. Cuma Bagas gak suka album Blink yang Untitled itu tuh tolol menurut gue [tertawa].

Adit: Kalau gue dari dulu pengin banget ada band metal, kesampaiannya baru di Morgen nih. Gue awalnya gantiin Johnny sekali, terus abis itu yang lebih gak bisa Almarhum, karena dia mulai sakit. Jadi gue lebih sering gantiin dia. Kami tur ke Bali pertama tuh, itu pas banget Covid. Kami nyampe sana, pas mau pulang tuh lockdown. Harusnya abis itu kami ke Semarang sama Solo. Kenapa Bali duluan? Biar tarik mundur dari Bali ke Jakarta gitu kan. Eh, Semarang sama Solo cancel.

Rivo: Oh iya, kita dengernya pas lagi berenang tuh. Ya udah, extend deh.

Adit: Untungnya teman-teman di Bali bikinin event tambahan juga di Bali. Jadi harusnya sehari show di Bali, sehari di Semarang, dan sehari di Solo, semuanya jadi di Bali [tertawa]. Waktu itu gue belum jadi personel tetap, tapi di situ momennya udah seru banget. Ini sih pengin gue ngeband sama mereka.

Rivo: Bali ancur sih.

Adit: Untung kesampaian lagi ke sana ya. Maksudnya, lumayan full circle buat gue setelah ikut ke Bali sebagai additional waktu itu. Terus lewatin Covid, segala macam, akhirnya jadi personel tetap, abis itu ke Bali lagi. Maksudnya itu momennya lumayan manis di mana gue ngerasain udah kenal sama mereka-mereka ini, bukan sebagai cuma sekedar ngisi, tapi emang sebagai temen gitu loh. Udah bisa yang kayak, kalau gue ngelihat titit mereka juga gak bakal kenapa-kenapa gitu.

Jon: Waktu gue pertama kali diajakin main sama Morgensoll buat gue berat. Karena gue kayak, “Aduh gue males lagi,” gitu. Yang ngajak Oyoy ya waktu itu kan. Oyoy bilang ke gue, “Lo bisa gak gantiin gue dulu? Gue lagi gak bisa,” gitu. Buat gue tuh berat karena gue gak kenal sama orang-orangnya. Maksudnya gue sama Rivo cuma pernah ketemu dan kenalan aja gitu loh. Sama Bagas juga gitu. Itu buat gue berat. Tapi ternyata di saat gue ngomong “Iya” dan gue ke rumah (Kamar Bising) ini buat nyobain latihan bareng, ternyata itu jadi momen termanis tuh. Ketika itu gue keluar dari zona nyaman gue untuk, “Ayo deh, cobain deh”, ternyata gue nagih gitu. Jadi gue tetap stay. Terus abis itu momen termanis ya mungkin Eropa, jelas sih. Itu momen termanis banget buat gue pribadi sama buat satu band.

Kehilangan Almarhum Sesa itu jadi momen yang berat juga. Tapi kalau gue pribadi senengnya dia udah gak sakit lagi. Dia udah lepas dari sakitnya. Dia udah tenang gitu. Sama ketika gue pada akhirnya tahun lalu gak bisa lanjut lagi. Soalnya itu rasanya kayak gue gak tau itu gue akan gak bisa main lagi sampai kapan. Rasanya kayak satu-satunya hal yang buat gue pribadi itu adalah kesenangan gue yang sangat positif itu kayak ilang gitu. Buat gue pribadi itu yang gak menyenangkannya sih. Cuma untungnya sih untuk saat ini kondisi gue udah mulai membaik dan gue udah mulai bisa pelan-pelan lagi buat bermusik lagi.

Bagas: Sebenarnya ngerasanya jadi bukan kayak ngeband sih, tapi pertemanannya emang kuat banget. Jadi kayak kadang-kadang tuh… Bukan ngebandnya jadi terkesampingkan, tapi maksudnya menurut gue jadi nyaman aja gitu. Kadang-kadang malah kayak, “Oh, main nih?” Ya udah main aja, tapi nanti kelarannya ya udah nongkrong sampe mamp*s gitu. Apa lagi kami juga seumuran kan.

Bagas Encek merasa pertemanan di Morgensoll kadang-kadang bisa lebih dari musik yang mereka mainkan / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Raissa: Gak, gue gak.

Bagas: Kan Morgen-morgen lama…

Semua personel: [tertawa terbahak-bahak].

Bagas: Kalau terberat ya tadi, biasanya emang Rivo kan emang kalo bikin riff-riff lagu dan pattern drum kan diagambar di DAW, terus kayak, “Anjir, Rivo nih bikin drumnya begini nih ya.” [tertawa]. Biasa aja sih emang.

Rivo: Iya, biasa aja.

Bagas: Temponya aja sih naik turun [tertawa].

Di antara banyaknya band lo, Morgensoll yang tongkrongannya paling gimana buat lo?

Semua personel: Nah!

Rivo: Lo jawab tuh! [tertawa].

Bagas: Menurut gue paling seru sih [tertawa]. Sama kalau tadi momen terberat, menurut gue ya pasti Almarhum Sesa sih yang meninggalkan kita semua ya. Pas dia mulai sakit itu aja udah mulai berasa lah untuk kami gitu kayak, “Oh, ternyata dia ada penyakit ini,” gitu. Waktu itu ya lumayan goyang lah, soalnya dia temen kecil gue juga.

Raissa: Kalau gue, termanisnya beli gitar, terberatnya jual gitar [tertawa]. Gak, gak. Terberatnya gue harus lanjutin cicilan (gitar) dengan kondisi Morgen-nya udah bubar. Gue tipe yang kalau misalnya diajakin sesuatu gue tuh ngerasa butuh take risk untuk menjalankan tanggung jawab itu, jadi pas kayak Rivo ngajakin masuk Morgen, gue kayak, “Oke, gue harus cicil gitar deh,” jadi gue punya gitar khusus buat main sama Morgen. Akhirnya gue cicil tuh Yamaha SG. Terus ya udah kan dipake tuh ke Singapura sama Malaysia, abis itu berantetan kan, karena gue udah mikir, “Ya udah nih, tanggung jawab gue bermain musik di Morgen.” Abis itu tiba-tiba, Raiyanda, kayaknya Morgen bubar nih.

“Anj*ng, gitar gue belum lunas bangs*t.

Tapi momen tersenang gue dari Morgen adalah, gue tuh senang banget pertemanannya. Salah satu momen ter-fun menurut gue adalah kami tuh rajin banget main Fortnite bareng. Lucunya, waktu kejadian Rivo mengabarkan ke gue Morgen bubar, lagi main Fortnite. Gue, Rivo, sama Bagas. Pagi-pagi, weekend, Rivo ngomong, Raiyanda, gue udah ngobrol nih sama Bagas kemarin, jadi kayaknya Morgen bubar nih Raiyanda.

Anj*ng Vo, gitar gue belum lunas.

Terus ya udah itu sih, karena gue baru satu tahun dan cuma satu tahun di Morgen, itu termanis dan terberatnya gitu.

Rivo: Pas Raiyanda ngomong soal cicilan, gue sama Bagas sambil main game gitu jawab, “Entar kita lunasin dah.”

Raissa: Iya, sok-sokan. 

Rivo: Padahal dalam hati gue, “Gak ada.

Raissa: Tapi udah aman. Udah dijual guys.

Musik Morgensoll kan punya spektrum yang atmosferik, berat, dan mungkin eksperimental. Proses kalian ngebangun identitas sound itu gimana, dan apa pengaruh musik yang mungkin orang gak sangka?

Rivo: Gue tuh suka banget band pop punk, band emo kayak gitu sebenernya. Cuma suatu hari gue punya keresahan yang lebih dalam lah semenjak dari Bokap gue meninggal sih sebenernya. Tau-tau gue punya keresahan yang lebih dalam lah. Akhirnya gue coba bikin sesuatu yang lebih personal buat gue lah. Terus pada saat itu tuh band post-rock yang gue dengerin tuh cuma God Is an Astronaut sama Sigur Rós lah, kayak gitu. Gue tuh mikir kayak, gue tuh suka banget pop punk, terus pengin gue sampein, tapi dengan cara lebih tenggelem aja gitu loh rasanya, lebih lamban. Sebenarnya tuh yang gue tulis di Morgen itu chord-nya yang gue pake juga itu tuh adalah chord-chord yang gue suka dari band-band pop punk kesukaan gue sebenernya kayak, Blink, Box Car Racer, The Starting Line, gitu-gitu. Gue coba pakai itu, tapi coba gue lambatin, terus gue coba keluarin itu tapi dengan sisi gue dan sisi Morgen-nya.

Pada saat itu ada suatu pagi lah, one fine morning, gue gak bisa tidur. Lo tau gak sih kayak jam-jam setengah enam pagi gitu kan warna langitnya masih kayak ungu gitu, buat gue pribadi itu tuh momen banget, karena kayak rasanya tuh, “Anjir, ini momen emo gue banget nih.” Pada saat itu gue cuma ada di jendela, gue cuma ngelihatin langit doang. Bulan Desember gitu tuh. Desember tuh menurut gue langitnya akan selalu bagus, mau di Bali, mau di Jakarta, menurut gue tuh bagus. Ya udah akhirnya jadi Morgen aja gitu.

Waktu itu gue masih pacaran juga. Nah, pacar gue saat itu adalah support gue gitu. Gue udah coba nulis lagu post-rock, tapi gue tuh gak PD. Tau-tau si mantan gue ini kayak, “Gak, lo tuh bisa lo ngeluarin kayak gini-gini.” Ya udah, dia support gue untuk itulah. Ternyata Morgen itu bisa jadi media buat gue ngeluarin apa yang gue rasain, sama kesedihan gue setelah ditinggal Bokap.

Adit: Kalau ngebangun sound part-part instrumennya itu emang berdasarkan part-nya Rivo yang ditulis duluan. Yang baru banget bikin akhirnya workshop kami lumayan lama itu adalah vokal, karena kan ini perdana Morgen ada vokal, terus pakai vokal gue. Mau kayak gimana gitu, sedangkan gue belum pernah nyanyi yang kayak seteriak-teriak itu. Jadi ada blueprint-nya dulu nih kayak, “Oh, kami mau reach reference-nya ini, bisa gak nih?” Bukan bisa gak nih sih sebenernya, harus bisa. Ya gue coba seteriak-teriaknya di kamar ini, sampai diomelin juga sama Nyokapnya Rivo, tapi gak apa-apa, terima kasih, Tante.

Rivo: Dia disangka setan.

Siapa itu teriak-teriak?” kata Nyokap gue.

Gak, ini lagi rekaman,” gue cuma bisa jawab gitu.

Sampai tetangga gue nge-chat, “Vo, itu siapa teriak-teriak, lagi pada berantem?” Gue jawab juga, “Gak Tante, lagi rekaman.

Emang beneran Kamar Bising ya… 

Jon: Kami dulu nyebut ini Kamar Bising karena waktu itu bentuknya masih studio jadi spacenya segini bener, tapi dulu ada sekatnya.

Rivo: Pada saat itu gue pernah bikin gigs di kamar ini. Lo tau siapa yang main? Godplant. Buset, ancur tuh hari itu. Lantai nih keringat semua. Ada kok di YouTube, cari aja.

Suasana Kamar Bising saat ini / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Apa yang bakal jadi legacy Morgensoll untuk musik Indonesia, khususnya di ranah post-metal/post-rock?

Jon: Kalau kami bisa menembus dunk!fest di Belgia, semoga teman-teman yang lain bisa juga. Semoga gara-gara kami jalannya bisa lebih kebuka buat teman-teman yang lain.

Bagas: Ya rilisan-rilisannya Morgen aja, basic sih. Maksud gue, karya-karya Morgen udah ngerepresentasiin Morgen gitu.

Rivo: Tongkrongannya sih ya. Mungkin kami udah selesai sekarang, cuma yang gue harap kami bisa menginspirasi teman-teman yang lain. Dan mungkin bukan dari musiknya doang gitu, tapi dari pertemanannya juga.

Bagas: Ngeband gak selalu tentang musik sih.

Rivo: Kalau bisa… Gak ‘kalau bisa’ sih, lo harus sayangin teman-teman lo, dan lo harus ada waktu buat teman lo. Ini dari gue pribadi ya, lo itu akan hidup sama teman-teman lo terus, mereka tuh akan selalu ada buat lo, dan akan selalu sayang sama lo. Intinya jangan sampai putus lah tali silaturahmi.

Pophariini turut merasakan kebersamaan di internal Morgensoll / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Kalau ini memang wawancara terakhir Morgensoll, apa pesan terakhir kalian untuk pendengar, kawan band, dan orang-orang yang pernah terlibat di perjalanan kalian?

Rivo: Gue sayang banget sama lo semua.

Raissa: Jangan kayak gitu dong pertanyaannya, gue tuh gak bisa tau.

Adit: Iya anj*ng, ini berat sih.

Raissa: Iya sedih tau. Gue mau nangis.

Rivo: Gue ngomong ‘sayang’ juga pengin nangis gue [tertawa].

Raissa: Padahal gue baru setahun ya.

Adit: Main berapa kali? 3 kali?

Raissa: Bacot lo, diem.

Semua personel: [tertawa].

Adit: Terima kasih paling besar terutama untuk kalian yang udah nerima gue di awal. Untuk semua yang ngedengerin, untuk teman-teman kami semua, untuk keluarga kami juga udah nge-support kami ngejalanin ini. Ini pertemanan yang rokes, tapi di-support terus gitu, ini lumayan amazing buat gue jadi ya, terima kasih sedalam-dalamnya untuk semuanya, I love you.

Jon: Ya cuma bisa bilang thank you aja sih ke semua orang yang pernah berdinamika sama Morgensoll, sama minta maaf kalau ada salah-salah. Gitu aja dah.

Bagas: Terima kasih buat Rivo, Adit, John, Rai. Terima kasih juga buat Oyob, Kai, Emir, Yuri. Abis itu shout out buat Dinda, thank you buat Eropa [tertawa]. Terima kasih juga buat Almarhum Sesa. Lo mau ngomong apa Rai?

Raissa: Jangan dilihatin. Gue mau berterimakasih sama Rivo, Adit, Bagas, sama Johnny yang udah bolehin gue masuk Morgen, walaupun cuma 1 tahun, terus ngerasain punya keluarga baru, yang peduli, yang kalau kata Rivo, “Lo sayangin teman-teman lo. Karena lo hidup sama teman-teman.” Di sini gue ngerasain itu. Intinya, semoga bandnya aja yang bubar, pertemanannya jangan pernah bubar. 

Momen langka, kelima personel Morgensoll saat ini bersama dalam satu frame foto / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Setelah band bubar, apa rencana kalian secara pribadi ke depannya?

Rivo: Gue kan sekarang juga baru masuk di Pelteras. Terus gue, Johnny, Adam (Bagaskara, pemain bas Pelteras), sama beberapa orang lagi bikin band namanya Homebuddies. Mudah-mudahan kalian suka guys.

Adit: Ini dulu aja gak sih Vo? Klab Diskorda. Belum manggung-manggung.

Rivo: Klab Diskorda, ya udah. Tapi, Homebuddies dulu.

Adit: Kalau dari gue masih pengin nongkrong sama kalian-kalian nih. Bakal ngelanjutin proyek gue juga namanya Foreseen, sama In The Bleak Winter, gue lagi bikin proyekan elektronik juga sih. Di luar itu, gue mau present aja in the moment.

Jon: Kalau gue Homebuddies. Tetap pengin bermusik, entah gimana caranya. Masih pengin punya project sendiri juga, yang emang agak beda sama Morgen dan Homebuddies. Sama gue juga fokusnya sekarang lagi di kesehatan diri sendiri, udah itu sih.

Bagas: Ya udah fokus ngedrum, fokus kerja, nyenengin orang tua, pacar, teman, semuanya, ya udah itu aja sih paling.

Raissa: Udah? Lo gak sebut band lo apa aja gitu?

Bagas: Udah, gak usah.

Raissa: Oh, soalnya orang tau ya pasti ya [tertawa].

Bagas: Fokus ngedrum, gitu-gitu lah.

Rivo: Lo fokus ngedrum, tapi main lo biasa aja ya [tertawa].

Raissa: Gue lagi mau ngelarin album buat proyek solo gue, GUNGS. Abis itu gue lagi nyelesaiin tugas gue untuk jadi certified yoga teacher. Ya sebenarnya kaya Johnny, balik ke kesehatan diri sendiri. Udah, 2 itu aja.


Wawancara ini berlangsung dengan total durasi tepat di 1 jam 36 menit. Durasi ini membuat proses transkripsi menjadi tulisan yang kalian baca ini berlangsung selama hampir 8 jam. Tak apa, rasanya wajar menulis wawancara panjang dengan band yang punya lagu-lagu dengan durasi tak kalah panjang.

Semua jerih payah ini rasanya cukup worth it mengingat selain momen penampilan terakhir Morgensoll di akhir pekan mendatang, sesi wawancara ini juga jadi momen kelima personel bisa diwawancara dalam waktu bersamaan. Paling tidak begitu kata mereka.

Senda gurau Morgensoll jadi salah satu momen paling menghibur dalam kunjungan kami / Dok. Anggik Yoga Prayuda

Terima kasih Rivo, Adit, Johnny, Bagas, dan Rai karena sudah memberikan kesempatan bagi saya mewakili Pophariini bersama fotografer Anggik Yoga Prayuda untuk mendokumentasikan momen beberapa minggu sebelum kalian resmi bubar.

Mari kita nikmati Morgensoll untuk yang terakhir kalinya di Synchronize Fest 2025 hari ketiga. Post-everything music forever.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Eksklusif Morgensoll: Last Ever Interview
Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy KOMBI.ID privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us