Unit musik instrumental asal Yogyakarta, Babon resmi merilis album perdana Tropical Desert pada 26 September 2025. Trio yang digawangi oleh Rayi Raditia, Wahyudi Raupp, dan Rori Jiwa ini menjadikan musik sebagai ruang ekspresi dan eksperimen, tempat mereka menyalurkan cerita, keresahan, sekaligus refleksi atas cara pandang mereka terhadap dunia hari ini.
“Bagi kami, musik adalah wadah untuk menyalurkan cerita, keluh kesah, dan refleksi atas hidup serta cara kami memandang dunia,” kata Rayi saat dihubungi Pophariini (08/10).
Meski tanpa vokal, Babon berupaya membuat setiap nada dan aransemen karyanya mampu untuk menyampaikan narasi yang kuat.
Menariknya, latar belakang Rayi dan Wahyudi yang bergerak di bidang sustainable development banyak memengaruhi arah kreatif Babon. Mereka pernah terlibat dalam penanaman hutan pangan hingga energi terbarukan, yang membuat mereka bersentuhan langsung dengan isu-isu sosial dan ekologis, dari penebangan liar, kerusakan ekosistem, hingga ironi sosial di balik pembangunan.
“Semua pengalaman tersebut kemudian kami olah menjadi inspirasi dalam berkarya. Lewat musik, kami ingin menghadirkan sesuatu yang terasa seperti perpaduan antara novel dan dokumenter, sebuah cara bercerita yang ditulis bukan dengan kata, melainkan dengan melodi, harmoni, dan ritme,” ujar Rayi.
Dalam proses penggarapan Tropical Desert, Babon membagi fokus pada dua hal yaitu aspek komposisi dan teknikal.
“Dari sisi komposisi, hal yang paling menarik adalah bagaimana kami mengembangkan ide dari pengalaman dan isu-isu yang kami hadapi diatas menjadi sesuatu yang lebih imajinatif. Kami tidak sekadar mengambil tema secara langsung, tetapi mencoba memetik esensinya. Lalu menerjemahkannya ke dalam bentuk cerita dari berbagai sudut pandang, mulai dari sudut pandang penebang hutan, hewan yang kehilangan habitatnya, hingga tanah itu sendiri,” jelas Rayi.
Untuk menghasilkan karakter bunyi yang khas, Babon menggandeng Pandji Dharma sebagai sound engineer, yang menurut Rayi adalah seorang kolektor alat-alat ‘magis’ yang membuka banyak ruang untuk eksplorasi suara.
Meski berakar di Yogyakarta, Rayi mengakui Babon belum terlalu aktif di acara kolektif lokal. Namun, ia berharap suatu saat bisa berkolaborasi lintas seni.
“Kami pengin banget tampil di acara atau kolektif yang menggabungkan musik dengan bentuk seni lain, kayak teater atau motion graphic. Menurut kami, di situ musik bisa berdialog dengan bentuk seni lain dan melahirkan pengalaman yang lebih hidup,” ujarnya.
Ke depan, band ini berharap ekosistem musik di Yogyakarta dapat tumbuh secara lebih sehat dan berkelanjutan. “Akan bagus kalau ada lebih banyak ruang dan infrastruktur yang bisa bantu musisi tetap produktif dan mandiri. Kami ingin ekosistem musik di sini bisa mendukung kesejahteraan semua pelakunya, dari musisi, teknisi, sampai kolektif,” pungkas Rayi.