1. News
  2. Berita
  3. Jawa Timur, Daerah yang Jadi Magnet untuk Nyantri

Jawa Timur, Daerah yang Jadi Magnet untuk Nyantri

jawa-timur,-daerah-yang-jadi-magnet-untuk-nyantri
Jawa Timur, Daerah yang Jadi Magnet untuk Nyantri

Jawa Timur, Daerah yang Jadi Magnet untuk Nyantri


Jawa Timur identik dengan keberadaan pesantren-pesantren besar. Selain dari segi kualitas maupun kuantitas, pesantren di Jawa Timur tidak bisa diragukan.

Berdasarkan data Kementerian Agama per 4 Oktober 2025, terdapat 7.347 pondok pesantren yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota Jawa Timur. Jumlah tersebut menjadikan Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak secara nasional setelah Jawa Barat.

Bahkan, Jawa Timur menempati posisi atas dalam daftar provinsi dengan jumlah santri terbanyak di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama per 4 Oktober 2025, tercatat ada 297.506 santri aktif di provinsi ini.

Data dari GoodStats menunjukkan, Jember, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Bojonegoro, hingga Kediri, menjadi daerah dengan jumlah pesantren terbanyak. Meski demikian, daerah seperti Ponorogo, Jombang, Pasuruan, dan Kediri lebih masyhur di kalangan masyarakat. Sebab, daerah tersebut telah lama menjadi pusat dakwah sekaligus memiliki pesantren-pesantren besar.

Pesantren-pesantren besar seperti Gontor, Tebuireng, Sidogiri, Lirboyo punya reputasi sebagai rujukan keilmuan.

Banyak pesantren di Jawa Timur menggabungkan pendidikan agama klasik (kitab, sorogan, bandongan) dan pendidikan formal modern. Beberapa ponpes bahkan menerapkan program internasional, sertifikasi bahasa, dan pertukaran siswa. Misalnya Pondok Modern Darussalam Gontor, Al Kautsar Banyuwangi, dan sejumlah pondok di Malang dan Jombang.

Karena kombinasi inilah, lulusan pesantren Jatim tidak mandek hanya sebagai pengkaji agama, Mereka punya bekal lebih dan siap bersaing di jenjang perguruan tinggi atau dunia profesional.

Sejarah Pesantren di Jawa Timur

Penyebaran Islam pada abad ke-14 hingga ke-16 disebut menjadi cikal bakal lahirnya pesantren di Nusantara. Wali Songo dan para pedagang muslim di pesisir utara seperti Gresik, Tuban, dan Surabaya, adalah tokoh utamanya.

Para ulama waktu itu bukan hanya berdakwah di masjid, tapi juga membuka tempat tinggal untuk murid-murid yang ingin belajar agama. Tempat itu kemudian berkembang menjadi pondok pesantren, sebuah lembaga pendidikan Islam berbasis komunitas.

Menurut penelitian di Jurnal Al-Jadwa Universitas Islam Darul Ulum Lamongan, model pesantren awal muncul dari sistem pengajian kitab. Tempat tinggal santri di sekitar rumah kiai, dan sistem belajar adalah sorogan, metode belajar dengan cara santri membaca kitab di hadapan gurunya.

Di masa itu, peran pesantren bukan hanya pendidikan agama. Pesantren juga menjadi pusat dakwah, ekonomi, dan pembentukan masyarakat muslim pedesaan. Santri sering terlibat membantu masyarakat di ladang, berdagang, atau memperbaiki fasilitas umum.

Pesantren Jadi Pusat Perlawanan

Saat kolonial Belanda masuk pada abad ke-19, pesantren menjadi pusat perlawanan. Para kiai Jawa Timur banyak yang berperan dalam gerakan kebangsaan. Misalnya, KH. Hasyim Asy’ari dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, mendirikan pesantrennya pada tahun 1899 sepulang belajar dari Makkah.

Tebuireng tumbuh menjadi pesantren modern pertama di Jawa Timur yang membuka sistem madrasah dan pendidikan formal. Dari sinilah gagasan Islam moderat dan nasionalisme Islam mulai tersebar luas.

Sementara itu, Pesantren Qomaruddin di Gresik sudah berdiri lebih awal, sekitar 1747, menjadikannya salah satu pesantren tertua di Jawa Timur. Pendiriannya terkait erat dengan jaringan ulama pesisir utara yang juga terlibat dalam aktivitas dagang dan sosial masyarakat.

Di periode yang sama, lahirlah pesantren-pesantren besar lain seperti Lirboyo (Kediri) dan Sidogiri (Pasuruan). Masing-masing memiliki corak khas, ada yang fokus pada fiqh klasik dan tafsir, ada yang menekankan hafalan, ada pula yang membangun sistem pengajaran berjenjang.

Pesantren sebagai Pusat Transformasi Sosial

Setelah Indonesia merdeka, posisi pesantren makin kokoh. Pada dekade 1970–1990-an, banyak pesantren di Jawa Timur membuka sekolah formal, seperti SMP dan SMA Islam, tanpa meninggalkan sistem bandongan (pengajian kitab secara klasikal).

Menurut penelitian Historiografi Pesantren di Jawa, pesantren pada masa Orde Baru menjadi “subkultur pendidikan” — lembaga yang mandiri secara ekonomi dan sosial, tapi tetap berperan penting dalam pembangunan masyarakat desa.

Kemandirian itu terlihat di Jawa Timur. Banyak pondok mendirikan koperasi, percetakan, hingga usaha pertanian dan peternakan. Misalnya, Pondok Pesantren Sidogiri dikenal dengan unit usahanya yang besar, dari toko swalayan, penerbitan buku, hingga bank mikro. Hasil usaha itu digunakan untuk membiayai pendidikan dan kesejahteraan santri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Jawa Timur, Daerah yang Jadi Magnet untuk Nyantri
Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy KOMBI.ID privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us