Pondok Pesantren Cipasung Lebih Dulu Raih Kalpataru, pada 1980
Pondok Pesantren Cipasung telah lebih dulu melakukan prinsip pengelolaan pesantren berbasis lingkungan. Bahkan, pada tahun 1980, Pondok Pesantren Cipasung menyabet penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Kontribusinya terhadap lingkungan memang tidak kecil. Pesantren ini tidak hanya melakukan pengelolaan lingkungan untuk kebutuhannya sendiri. Lebih dari itu, pesantren ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat.
Masalah utama saat itu, banyak komunitas pedesaan di sekitar pesantren menghadapi keterbatasan air bersih dan sanitasi. Cipasung merespons melalui solusi kontret yang langsung membantu warga. Penekanan pada solusi praktis inilah yang membuat upaya mereka menonjol.
Banyak sumber menyebut secara spesifik bahwa salah satu kegiatan Cipasung yang mendapat apresiasi adalah penjernihan air dan praktik teknologi tepat guna lain. Pada akhir 1970-an beberapa tokoh dari pesantren mengikuti Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM). Acara ini diselenggarakan lembaga terkait, seperti LP3ES dan berkolaborasi dengan beberapa pesantren, dan alumni dari Institut Agama Islam Negri (IAIN).
Setelah kembali ke pesantren, mereka menerapkan keterampilan itu untuk memecahkan masalah di desa, terutama sanitasi dan air bersih.
Cipasung tidak berhenti pada pembangunan infrastruktur. Mereka juga melakukan penyuluhan dan mengajarkan pentingnya sanitasi, pemeliharaan sumber air, serta praktik pertanian yang ramah lingkungan. Pendidikan ini membuat membuat perubahan dan upaya-upaya berkelanjutan karena warga sendiri yang mengelola dan merawatnya.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap peran pesantren dalam pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan, pemerintah menganugrahkan Hadiah Lingkungan pada 5 Juni 1980. Hadiah Lingkungan ini yang kelak dikenal sebagai Kalpataru. Ada delapan organisasi/kelompok yang mendapat hadiah tersebut, salah satunya Pondok Pesantren Cipasung (Tasikmalaya). Catatan publik menyebut Cipasung menerima penghargaan tahun itu untuk kegiatan penyuluhan lingkungan, pendidikan lingkungan, pertanian ramah lingkungan, dan penjernihan air.
Sejarah Pondok Pesantren Cipasung
Pondok Pesantren Cipasung terletak di Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna. Pesantren itu didirikan oleh KH. Koko Komarudin Ruhiat atau yang dikenal KH Ruhiat. Ia adalah putra seorang lurah, yakni Haji Abdul Ghofur.
KH Ruhiat tidak mengikuti jejak ayahnya. Ia lebih memilih menuntut ilmu agama dan mendirikan pondok pesantren.
Jejak pendidikannya bisa ditelusuri dari Pesantren Cilenga. Ia mondok di sana selama empat tahun sejak 1922‒1926. Dari sana, KH Ruhiat melanjutkan proses belajarnya ke sejumlah pesantren lain seperti Sukaraja (Garut) dan Cintawana (Singaparna). Silsilah keilmuannya menembus hingga ke jenjang besar dalam jaringan pesantren besar.
Pada akhir 1931 atau awal 1932, di era kolonial Belanda, KH Ruhiat memutuskan mendirikan pondok pendidikan sendiri. Di atas tanah keluarga di kampungnya, ia memulai pesantren dengan kurang lebih 40 santri.
Metode Santri Kalong dan Bahasa Lokal
Di masa awal berdirinya, pesantren ini tidak menerapkan sistem tinggal penuh di asrama. Banyak santri yang hanya datang malam hari untuk belajar, lalu kembali rumah saat siang. Mereka dikenal sebagai santri kalong.
Istilah kalong dalam konteks ini merujuk kepada aktivitas malam. Para santri hanya datang dan belajar saat malam. Sistem ini berbeda dengan santri yang umumnya menetap dan tinggal di pesantren penuh waktu.
Selain itu, KH Ruhiat menggunakan metode pengajaran yang kental akan budaya. Ia menggunakan bahasa Sunda di dalam proses pembelajaran. Tujuannya agar para santri yang mayoritas Sunda lebih mudah memahami pelajaran kitab dalam bahasa Arab kuning.
Pendidikan Mulai Terstruktur dan Ekspansi Kurikulum
Beberapa tahun kemudian, Pondok Pesantren Cipasung mulai membentangkan sayapnya. Pada 1935, didirikan madrasah diniyah, sekolah agama untuk anak-anak muda sebagai pembinaan awal.
Tahun 1937, KH Ruhiat mendirikan Kursus Kader Mubalighin wal Musyawirin (KKM) sebagai pelatihan pidato, dakwah dan musyawarah bagi santri dewasa. Selanjutnya, setelah kemerdekaan RI, Cipasung terus mengembangkan pendidikan formal dengan membangun sekolah rendah (1953), menengah (1959), hingga perguruan tinggi Islam mulai 1965. Perguruan tinggi itulah yang kemudian menjadi Universitas Islam KH. Ruhiat Cipasung.
Peran Sosial, Organisasi, dan Nasionalisme
Hal yang menarik dari sejarah pesantren ini adalah bahwa pendirinya, KH Ruhiat pernah ditangkap oleh Belanda. Penangkapan itu didasarkan pada anggapan bahwa aktivitasnya mampu membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia.
Pada tahun-tahun awal organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Tasikmalaya, Cipasung pun turut ambil bagian dalam membentuk kader muda. Kursus KKM di Cipasung menjadi bagian nyata dari alat pengkaderan NU di kawasan selatan Jawa Barat.
Kemudian, pada 1-5 Desember 1994, pesantren ini menjadi tuan rumah Muktamar NU ke‑29, sebuah musyawarah tertinggi yang menjadi momentum penting bagi konsolidasi NU di tingkat nasional. Tentunya ini mempertegas peran Pesantren Cipasung sebagai pusat kegiatan keagamaan dan kebangsaan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News