Memasuki awal November, orang-orang biasanya heboh untuk kembali memutar lagu Guns N’ Roses “November Rain” (1991) tentang perjalanan cinta yang rumit, dipenuhi keraguan, dan usaha berdamai dengan kehilangan. Namun kehancuran semacam ini tidak dirasakan semua orang di setiap bulan sebelas karena mereka berhak memilih mana yang lebih sedih.
November juga identik dengan Skorpio, zodiak yang emosional, misterius, posesif atau mungkin ada sifat lain yang belum disebutkan. Ketika mengambil salah satunya sebagai gambaran apa yang akan dibahas artikel ini adalah emosional dalam arti suatu pihak tak lelah berjuang untuk sesuatu yang lebih baik yaitu peduli terhadap isu perubahan iklim.
Rock in Celebes yang berlangsung tanggal 1 dan 2 November 2025 bukan lagi sekadar festival musik karena perdana penyelenggara berkolaborasi dengan IKLIM Fest untuk menyuarakan isu perubahan iklim dengan menampilkan belasan nama yang masuk album kompilasi sonic/panic Vol. 3 di panggung RIC bergantian.
Festival ini juga menjadi saksi pertemuan saya dengan Gede Robi Navicula selaku salah satu pendiri IKLIM (Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) dan Music Declares Emergency Indonesia. Saat ia tengah berkeliaran di area penonton Wing Stage Rock in Celebes, saya menghampirinya untuk mengajak wawancara.
Pertanyaan sudah disiapkan sejak masih berada di pesawat terbang menuju Makassar. Mungkin masih banyak hal penting yang terlewatkan, namun paling tidak semoga tanya jawab saya dan Robi di bawah ini bisa memberikan informasi yang mencerahkan. Simak langsung.
Bagaimana keterlibatan IKLIM di Rock in Celebes?
Sejak awal, konsep IKLIM memang menggabungkan kolaborasi antara musisi, visual artist, dan berbagai seniman sebagai sebuah hub. Aku sendiri bekerja di Kopernik dan banyak berkaitan dengan dunia LSM, konsultan, dan pemerintah—ranah yang berisi data dan pendekatan rasional. Sementara lewat Navicula, aku bergerak dari sisi seni yang berfokus pada lingkungan. Dari sinilah lahir ide bahwa ledakan budaya terjadi ketika kekuatan rasa dan logika digabungkan. Konsep ini sudah dijalankan sejak IKLIM tahun pertama 2023 dan terus berkembang hingga 2024 dengan semakin banyak kolaborator.
Memasuki tahun ketiga, kami memperluas kolaborasi ke festival dan media, termasuk keterlibatan Pulitzer serta pendekatan yang lebih serius ke media. Dengan Rock in Celebes, kedekatan kami sudah terbangun sejak lama. Aku dan Ardy—pendirinya—memang sudah berteman sejak era Chambers dan saat Navicula masih menitipkan rilisan di distronya. Navicula juga sudah beberapa kali tampil sejak Rock in Celebes awal. Hubungan panjang ini membuat kami semakin mudah menyelaraskan nilai sustainability di dalam festival.
Seiring waktu, ide untuk mengangkat isu lingkungan dalam festival sebenarnya sudah ada sejak dulu. Hanya saja, resource dan momentum belum tepat. Setelah IKLIM berjalan sejak 2023, kami merasa waktunya pas. Kami melihat kejenuhan festival yang hanya berfokus pada hiburan tanpa value. Sekarang, IKLIM sudah punya kapasitas kuat, termasuk 43 artis yang tergabung dalam Alarm Records dan rutin mengikuti workshop lingkungan lima hari di Bali. Dengan demikian, festival dan artis berada pada kesepahaman yang sama dalam mengusung isu lingkungan.
Berarti para musisi ikut workshop sejak awal ya?
Ya, kalau artis memilih untuk bergabung, mereka harus committed dari awal. Generasi pertama seperti Endah N Rhesa dan Iga Massardi mengikuti workshop dulu sebelum membuat lagu. Dari proses itulah muncul ide-ide baru, termasuk lahirnya Alarm Records sebagai label berbentuk koperasi. Tahun kedua, Efek Rumah Kaca dan Petra Sihombing bergabung, dan tumbuh kesepahaman antara penampil dan organiser dalam memahami prinsip ramah lingkungan.
Sering kali di festival terjadi ketidakselarasan antara penyelenggara yang ingin ramah lingkungan dengan penampil yang punya riders panjang dan tidak sesuai konsep. Dengan keterlibatan IKLIM Fest, kami bisa menegosiasikan hal-hal seperti konsumsi, green room, dan kebutuhan teknis sehingga selaras dengan prinsip reduce waste. Kami menerapkan kendaraan sharing, pengurangan kemasan sekali pakai, dan prinsip tanggung jawab bersama.
Tentu selalu ada tantangan. Pengelolaan sampah bukan hanya soal recycle, tapi dimulai dari reduce. Tanpa itu, sampah akan terus menumpuk. Karena itu, sebulan lalu IKLIM mengadakan workshop khusus untuk crew, vendor, dan tim Rock in Celebes agar semua pihak—dari EO sampai artis—punya pemahaman dan praktik yang sama dalam menjalankan festival berkelanjutan.
Sebenarnya apa visi dan misi IKLIM dengan melibatkan banyak musisi sampai volume 3?
Misi utama IKLIM adalah mengangkat isu krisis iklim yang sangat urgent, namun sayangnya belum menjadi prioritas di Indonesia. Dalam perjalanan karierku, sering ada anggapan bahwa isu lingkungan tidak laku. Padahal contoh paling sukses seperti Avatar karya James Cameron justru berbicara tentang perlindungan hutan dan masyarakat adat. Jika dikemas dengan kreatif, isu lingkungan bisa menjadi populer. Navicula sudah membuktikan bahwa bersuara tentang lingkungan selama 29 tahun tetap bisa sustain sebagai band.
IKLIM percaya bahwa seniman punya peran mengemas isu ini menjadi sesuatu yang relevan dan menarik. Media juga punya peran penting dalam mengamplifikasi nilai tersebut agar dianggap valuable oleh masyarakat. Apalagi dampak krisis iklim semakin nyata: badai Melissa di Jamaika, banjir terbesar dalam sejarah di Bali, hingga banyak tur musik internasional batal karena cuaca ekstrem. Musisi, sebagai pihak yang ikut meninggalkan jejak karbon lewat tur, sound system, dan perjalanan, juga perlu memikirkan upaya give back.
Tujuan IKLIM adalah membuat isu ini menjadi percakapan prioritas masyarakat. Dari teori perubahan, hanya 3,5% populasi yang peduli sudah bisa memengaruhi keputusan politik dan kebijakan. Karena itu, lewat musik, workshop, dan kolaborasi dengan festival serta media, IKLIM ingin memperluas pemahaman bahwa keseimbangan antara apa yang kita ambil dan berikan ke bumi harus diperbaiki agar seni, ekonomi, dan kehidupan dapat terus berjalan.
Apa dukungan yang belum didapatkan dari pemerintah sampai hari ini?
Aku percaya setiap orang di pemerintah maupun korporasi punya kindness dan niat baik. Tantangannya adalah bagaimana isu lingkungan bisa menjadi sesuatu yang mereka anggap urgent. Slogan seperti “no music on a dead planet” menunjukkan bahwa tanpa lingkungan yang sehat, industri musik pun terancam. Bencana seperti banjir atau badai bisa membatalkan konser, mengacaukan penerbangan, dan merugikan banyak pihak. Data bahkan menunjukkan banyak tur di Eropa dan Amerika batal tahun lalu karena badai.
Masalahnya, ketika pemerintah mengalokasikan anggaran ke sektor lain atau terjadi pemangkasan, industri kreatif juga ikut terdampak. Di Bali misalnya, pariwisata dan industri hiburan menjual nature and culture. Kita menikmati keuntungan ekonomi itu, tapi berapa yang kita kembalikan untuk menjaga alam dan budaya? Jika nature rusak, produk pariwisata ikut rusak. Hal yang sama terjadi di industri musik: hiburan adalah kebutuhan tersier yang langsung terganggu saat ekonomi tidak stabil atau bencana meningkat.
Lebih jauh lagi, seni dan budaya sejak dulu terinspirasi oleh alam—dari burung-burung di hutan Seram hingga bambu untuk membuat angklung di Bali. Ketika hutan hilang, inspirasi dan bahan baku seni juga hilang. Kita sudah melihat contoh kelangkaan rosewood, ebony, mahogany yang membuat gitar semakin mahal. Beberapa produsen seperti Cole Clark sudah menerapkan sistem tanam 30 pohon untuk setiap panen satu pohon sebagai langkah sustainable. IKLIM ingin menularkan cara berpikir seperti ini kepada musisi dan penyelenggara industri musik Indonesia.
Jika kampanye tentang isu perubahan iklim terus berjalan tanpa perubahan?
Bagiku, ini menyangkut makna hidup. Generasiku, Gen X, mewariskan banyak kerusakan kepada generasi berikutnya—Gen Z dan Gen Alpha. Sebagai seniman yang diberi kesempatan dan kemampuan, aku merasa berkewajiban mencoba membuat perubahan, sekecil apa pun. Jika suatu hari anakku bertanya, aku ingin bisa berkata bahwa aku sudah mencoba semampu yang aku bisa, daripada tidak melakukan apa-apa. Itulah nilai yang aku pegang sebagai seniman.
Selama ini aku sudah mencoba lewat berbagai cara: lewat musik, film dokumenter seperti Pulau Plastik di Netflix, riset, jejaring, hingga kerja akademis. Semuanya dilakukan demi masa depan yang lebih baik, meski hasil akhirnya mungkin tidak sempurna. Beruntung aku didukung penuh oleh keluarga, termasuk istriku yang juga seorang aktivis. Waktu dan energi yang kami berikan adalah bentuk komitmen bahwa perubahan harus diperjuangkan, bukan hanya dibicarakan.
Pada akhirnya, meski perubahan terasa lambat, yang penting adalah adanya itikad untuk bertindak. Tanpa itu, generasi setelah kita akan menanggung beban yang jauh lebih berat. Inilah landasan moral mengapa kampanye lingkungan harus terus disuarakan meski hambatannya besar.
Apa dampak terburuknya?
Dampak terburuknya sudah digambarkan dalam banyak dokumenter seperti Breaking Boundaries—kita sebenarnya sudah melewati batas aman bumi. Aku sendiri orangnya skeptis, tapi masih punya sedikit harapan sehingga tetap bergerak. Sebagai petani kopi, aku melihat langsung betapa rapuhnya tanaman arabica yang membutuhkan udara dingin di atas 1.000 mdpl. Kenaikan satu derajat saja membuat produksi terganggu. Jika hutan hilang dan pollinator mati, kopi bukan hanya mahal, tapi bisa punah.
Tagline “no coffee on a dead planet” bukan sekadar metafora. Begitu pula “no music on a dead planet”, “no pempek on a dead planet”, karena hilangnya alam berarti hilangnya sumber pangan, budaya, hingga bahan baku instrumen musik. Bencana yang meningkat juga akan mengganggu ekonomi masyarakat sehingga hiburan tidak lagi menjadi prioritas. Industri musik bisa lumpuh hanya karena badai, banjir, atau rusaknya alat musik.
Kita juga sudah melihat bagaimana kayu tonewood seperti rosewood, spruce, ebony menjadi langka. Tanpa pelestarian, bahan baku instrumen akan menghilang, biaya produksi melonjak, dan akses terhadap seni semakin terbatas. Karena itu, upaya-upaya sustainable seperti menanam pohon, mengurangi emisi penerbangan, membawa tumbler, hingga mengikuti jejak festival seperti Glastonbury atau Synchronize Fest yang semakin responsible adalah langkah kecil yang penting untuk mencegah skenario terburuk.
Apa sebenarnya peran musisi dalam menghadapi krisis iklim di Indonesia?
Peran musisi adalah bekerja secara kolaboratif berdasarkan passion mereka. Musik adalah apa yang kami cintai, tapi kami perlu menambahkan unsur care di dalamnya. Ketika kita peduli pada keluarga, lingkungan, atau Indonesia, kita akan mencari cara untuk menjaga semuanya—entah lewat karya, praktik panggung, atau cara berpikir. Musik bisa menjadi media untuk menyampaikan narasi lingkungan dengan cara yang kreatif dan dekat dengan publik.
Setiap musisi bebas mencari caranya sendiri. Misalnya dengan membuat green rider yang lebih sederhana, tidak meminta fasilitas berlebihan, atau meningkatkan efisiensi transportasi dan energi. Banyak permintaan dalam riders sebenarnya bisa dihemat dan tetap nyaman. Jika peduli, musisi akan menemukan jalannya sendiri. Tidak semua lagu harus bicara lingkungan, tetapi 20% saja sudah cukup memberi dampak besar jika dilakukan secara konsisten.
Inilah alasan mengapa label yang kami bangun bernama Alarm Records—karena isu ini sudah urgent. IKLIM ingin meningkatkan intensitas kepedulian di kalangan musisi, agar mereka bukan hanya berkarya tapi juga ikut menjaga sumber inspirasi dan masa depan yang memungkinkan musik tetap hidup.
Jika isu perubahan iklim dianggap tidak laku, apa yang harus dilakukan?
Jika isu ini dianggap tidak laku, mungkin karena audiens belum cukup terpapar atau belum teredukasi. Namun negara-negara maju membuktikan bahwa isu lingkungan sangat bisa menjadi arus utama. Jepang, misalnya, sudah menerapkan budaya buang sampah pribadi hingga tidak ada tempat sampah publik. Perubahan itu muncul karena edukasi yang konsisten dari media, content creator, filmmaker, dan berbagai pihak yang membentuk perilaku pasar.
Masalahnya, media sering menurunkan kualitas narasi demi mengejar klik dan asumsi tentang pasar. Padahal pasar justru dibentuk oleh apa yang kita produksi. Jika kita terus memberi konten receh, pasar akan terbiasa dengan hal receh. Sebaliknya, jika 3,5% masyarakat mulai mengonsumsi dan menciptakan karya yang valuable—sesuai teori perubahan—maka pasar akan ikut teredukasi. Banyak tren budaya di Indonesia, seperti sushi atau makanan organik di Ubud, juga muncul karena edukasi bertahap.
Media, musisi, seniman, dan kreator memiliki peran sebagai feeder nilai. Kita bisa membentuk pasar yang lebih cerdas dan peduli. Mungkin awalnya tidak laku, tapi efek jangka panjangnya besar. Dengan karya yang meaningful, kita membantu masyarakat mengenali apa yang punya value. Itulah kontribusi penting yang bisa dikerjakan bersama untuk mengubah mindset pasar Indonesia soal isu lingkungan.