Kalau flash back soal Gunung Rinjani, gua jadi inget sebuah pepatah mengatakan:
“Tua itu pasti, menjadi awet muda itu pilihan.”
Eh bener ga sih begitu? Wkwk.
Gak pernah menyangka dalam usia gua yang sudah berada di kepala 3, lagi lucu-lucunya diem ngejogrok #dirumahaja sambil mencoba peruntungan berbisnis di #Kekucingan dan menjadi bapak dari 6 ekor kucing kesayangan, serta sedang demen-demennya berlatih kebugaran, gua bakal mendengar sebuah ajakan:
“Bang, Gunung Rinjani yuk?”
oleh Riki, salah seorang member Komunitas Jalan Pendaki (yang wow gua juga terkejut itu komunitas masih stand strong setelah 8 tahun berdiri) pada suatu bukber di tahun 2022 ini.
Dua tahun sudah Pandemi menghantam segala lini kehidupan semua manusia, termasuk gua, tentu saja, selama masih keceplosan beol di celana pas lagi kebelet-kebeletnya, tapi lagi jauh dari wc, harusnya masih disebut manusia bukan? Huhu, tapi malu banget jujur, tapi bisa tau kan rasanya? Pernah punya pengalaman yang sama, kan? Bukan cuma gua doang, kan?
Dalam kurun dua tahun itu, selain menaati anjuran pemerintah buat #dirumahaja, gunung-gunung juga kayaknya ditutup meskipun tetep ada aja manusia-manusia yang naik gunung seliweran di timeline, gua gak bergeming sama sekali buat ikutan naik gunung. Terutama yang pakai nge-camp segala.
Mungkin karena di umur gua yang sekarang lagi seru-serunya menikmati liburan bapak-bapak, seperti main ke Bali buat kulineran, dengan sengaja melebarkan badan serta membulatkan ujung perut. Bengong di pantai nungguin sunset kayak orang kesambet. Atau sekadar staycation di hotel, rebahan menikmati interior kamar kekinian sekaligus ngabisin duit yang belum banyak itu. Huhu kan jadi kepikiran target harus punya 1M sebelum 40 tahun. #lah
“Yuk! Pake Open Trip, kan?” gua iyain, lagi.
“Pake dong bang, gua juga pengen santai-santai, ntar gua sekalian tanyain masih available ga. Biar lo bisa langsung gua daftarin.”
“Sikat! Gua pasti ikut!”
Setelah dipastikan slot untuk Open Trip available, gua diundang join ke grup keberangkatan pendakian Gunung Rinjani buat periode 26-31 Mei 2022. Yang tentu saja, saat ini gua udah kurang update, kalau tanggal 26 Mei adalah hari Kamis, dan juga tanggal merah. Alias hari libur kejepit nasional. Dan berdampak pada….
“Ini gak salah nih peserta Open Tripnya 42 orang?”
Mungkin, sebagai orang yang punya sedikit pengalaman bikin-bikin Open Trip dan juga beberapa kali jadi trip leader ke gunung-gunung lokal maupun Nepal (mau ngomong internasional kok ya kagok soalnya baru ke Annapurna doang), gua punya perasaan yang cukup kuat kalau ini pendakian bakal ada bibit-bibit dramanya.
Ya, meskipun, seperti yang dirimu baca, hampir semua tulisan di blog Jalanpendaki.com ini memang isinya drama melulu. Sih. Jadi mungkin sama semesta memang dikasih asupan drama di setiap pendakian. Padahal ingin sesekali menjadi penulis pada umumnya dengan tulisan langkah-langkah perjalanan yang berguna bagi bangsa dan negara. Lol, tapi emang mungkin gua dapet bagian ngebanyolnya doang, ding.
Btw, gua tidak menyalahkan penyelenggara Open Trip karena yea, it’s all about business bro, makin rame makin cuan. Cuma gua kek agak parno aja gitu takut kejadian open trip di Gunung Raung terulang kembali. Singkatnya, bukan jadi lebih santai karena semua logistik udah terpenuhi, tinggal melangkah gontai tau-tau sampai puncak, yang ada malah geram hati kurang air minum dan makan.
Kalau diinget-inget memang seru, jadi sebuah cerita yang bikin berdebar-debar di dada, tapi saat dirasakan, sungguh menderita. Gak, gak, gak kuat kalau kata girlband indo 7icons. Mampus lu, kalo diem-diem ikutan nyanyi berarti u udah seumuran gua. JEBAKAN UMUR WKWKWK.
Setelah diam seperti bapak-bapak, bergerak karena udah kebanyakan lemak, gua mendadak merasa bersyukur karena sejak akhir 2021 memutuskan kembali ke dunia kebugaran dengan cukup teratur berolahraga. Gua merasa lebih pede untuk urusan stamina diri menjelang pendakian Gunung Rinjani. Gak berat-berat amat gitu kayaknya kalau cuma bawa badan.
Tapi sayangnya, perlengkapan pendakian yang harus gua bawa sendiri karena termasuk perlengkapan pribadi, perlu diupgrade. Kalau beneran cuma pengen “bawa badan” doang. Seperti sleeping bag bulu angsa Consina yang tebel, gede, anget banget tapi ngabisin seperempat keril ultralight Deuter gua. Atau harus bawa matras tentara item yang digulung-gulung itu lho, sangat tidak enteng untuk tujuan pendakian “bawa badan” doang.
Akhirnya gua membeli sleeping bag bulu angsa Nature Hike CW280 yang memang tipis, mudah dipacking, dan bisa dikompres seukuran batu kali, tapi super anget (review panjang menyusul ya) plus matras pompa kaki brand Dhaulagiri (yang gak akan gua review karena jelek banget bro, ntar w ceritain, kesel pokoknya).
Namun, sekali lagi gua harus diingatkan bahwa manusia hanya bisa berencana menjadi ultralight dadakan, tapi baju gua banyak banget dah tetep ae keril Deuter 40L akhirnya harus gua relakan dan berganti dengan keril Eiger 45L yang pernah gua bawa naik Gunung Semeru 2019 lalu (jujur, malah berasa 65L saking super spacy jadinya kek semua-mua dimasukin ah alamat gua bawa kulkas lagi hadweh). Ps: bawa baju banyak karena mau lanjut ke Bali.
Kalau dirimu kebetulan adalah salah satu pemilik satu-satunya buku Jalan Pendaki yang pernah gua terbitkan tahun 2016, pasti kamu tahu gimana beratnya perjuangan 11 tahun lalu demi menginjakkan kaki di Gunung Rinjani, tanah Lombok tercinta yang memang gak ditulis di blog ini.
Salah satu momen yang ga bisa gua lupain adalah saat itu gua masih jadi mahasiswa dan harus kerja freelance di acara SEAGAMES demi ngumpulin pundi-pundi rupiah buat perjalanan Gunung Rinjani. Demi ngirit ongkos pun, gua dan teman-teman saat itu harus terbang ke Bali, lanjut naik jalur darat ke pelabuhan Padang Bai, lanjut lagi naik ferry (kapal laut) selama 5 jam buat nyebrang ke Lombok.
Sampai Lombok juga masih harus naik omprengan, ditampung di rumah tukang ojek baik hati, sampe naik pick-up sayur ke Desa Sembalun. Ditambah dengan keril 65L dan beban sekitar 30kg-an.
Sebagai mahasiswa, usia masih muda, pun saat itu yang gua punya hanyalah stamina dan waktu, gua pasrahin diri aja dengan semua ketidak-jelasan dan petualangan di hadapan gua. Harapannya, agar bisa menghampiri salah satu gunung terindah di Indonesia dengan seminim mungkin keluar biaya.
11 tahun kemudian, gua bersyukur banget bisa dikasih rejeki buat menyambangi Gunung Rinjani dengan lebih santai. Beban di keril cuma 12kg-an. Terbang dari Jakarta langsung sampai Lombok. Di bandara Lombok udah ditunggu oleh shuttle bus besar nan harusnya adem yang bakal langsung ngangkut ke basecamp Desa Sembalun.
Bahkan masih bisa makan makanan bernutrisi di Balenta Coffee, rumah makan sekaligus coffee shop yang menurut gua, harus dirimu kunjungi sebelum naik gunung Rinjani via Sembalun. Asli, makanannya enak dan harganya masih oke lah! Rekomen!
Satu hal yang pasti, gempa besar tahun 2018 yang sempat bikin Lombok terguncang hebat, berdampak banyak banget. Salah satunya adalah perubahan lokasi pintu rimba atau titik awal pendakian Gunung Rinjani via jalur Sembalun. Begitu juga dengan jalur turun, umumnya yang digunakan adalah jalur Senaru, karena banyak titik longsor akibat gempa, dibukalah satu jalur yang langsung jadi primadona pendakian di Rinjani (usut punya usut, waktu masih belum legal dibuka untuk umum, juga udah banyak yang lewat sih) yaitu jalur TOREAN.
Berbekal cerita keindahan jalur Torean inilah, gua dengan mantap mengiyakan ajakan Riki buat revisit Gunung Rinjani. Salah satu alasan gua buat pake Open Trip juga karena provider trip ini sudah “berpengalaman” dalam lintas jalur Sembalun-Torean. Tapi emang dasar pendaki virgo, saking kuatnya feeling gua bakalan ada drama dalam pendakian ini, ternyata kejadian juga….
Kamis, 26 Mei 2022, malam hari, sebelum pendakian:
“Jadi, siapa aja yang besok bakal naik ojek ke Pos 2?” tanya Adul, leader, sekaligus owner Open Trip memastikan lagi saat briefing sekaligus memperkenalkan kru pendakiannya besok.
Selain gua, ada sekitar 30-an lebih peserta Open Trip Gunung Rinjani ini yang mengacungkan tangan.
Dari semenjak tau kalau sekarang bisa naik ojek dari pintu rimba Sembalun ke Pos 2, tanpa ragu-ragu gua mengajukan diri, dan juga ngajak-ngajak Riki, yang akhirnya dia juga ngajakin teman-temannya buat nyisihin duit 150rb (ternyata karena lagi mulai high season, alias rame pendakian, tarifnya naik jadi 175rb) rupiah demi bisa menghemat 2 jam energi betis dan bahu. Paha dan pinggang. Pundak dan lutut.
Sekaligus memastikan terpenuhinya impian dan cita-cita naik gunung Rinjani santuy-santuy. Malah awalnya mau sekalian sewa porter pribadi, eh tapi berhubung keril udah super enteng berkat barang-barang gak kepake selama pendakian bisa dititipin basecamp, ya gak jadi deh. Good job banget Open Trip!
“Buat yang mau naik ojek besok, harap udah ready jam 06.30 pagi ya. Sarapan, terus berangkat duluan naik pick-up ke pintu rimba biar ga rebutan sama pendaki lain. Karena besok itu diperkiran ada 100 pendaki yang mau naik ojek, sementara cuma ada 24 ojek aja yang ready nganter ke Pos 2.”
DHEG.
Feeling ga enak apa ini yang menghampiri diriku tiba-tiba setelah mendengar ada 100 orang pendaki? Akankah nanjak Gunung Rinjani nanti bakal ngantri kayak yang ada Tiktok Tiktok viral masa akun-akun repost para pendaki?
Jum’at, 27 Mei 2022, day 1 Pendakian Gunung Rinjani:
“Lho, ini jadinya semua naik ojek? Kok malah masih belum berangkat ke Pos Rimba?” tanya Adul keheranan pada gua dan 9 orang peserta yang tersisa di basecamp (kloter akhir: acen, riki, nanda, wildan, ary, aji, candra, devry, sandi, angga) sementara yang lainnya udah berangkat.
Di jam tangan gua emang udah jam 7-an pagi.
“Ya gimana dong, orang udah pada siap dari jam 6, tapi dapet sarapan aja masih kudu war sama peserta lain…” jawab gua.
Poin drama pertama dimulai.
42 peserta.
30 sekian diantaranya harus berangkat jam 6.30. Tapi sarapan yang tersedia cuma 5 piring per 10-15 menit. Sisanya masih dimasak. Itu pun kudu dipantengin dulu inaq-inaq yang masak(ibu-ibu, dalam bahasa Sasak, Lombok) sampe grogi. Tuh nasi goreng ada yang asin, ada yang hambar, bahkan ada yang lupa dikasi krupuk segala wkwk terngakak udah kayak berpacu dalam melodi, kasian ih si inaq.
Sebagai warga santuy, gua, Riki, dan 6 orang temannya (nanda, wildan, candra, aji, ary, devry), mengalah aja yang penting sarapan dulu tidak lupa ngudud. Tertinggal juga lah Sandy dan Angga, peserta dengan konsep ultralight yang emang sedari awal gak berniat naik ojek, jadi mereka juga ‘terjebak’ di Geng kloter akhir.
Sesampainya di pintu rimba, ternyata masih ada sekitar 3-5 peserta juga, gua lupa jujur, yang masih menunggu ojek buat ke Pos 2. Geng Kloter Akhir lalu mengisi waktu menunggu ojek dengan berselfie, bikin konten, foto-foto, dan saling mengakrabkan diri sampai…
“Mendingan kalian jalan dulu aja, nanti kalau ketemu ojek di jalan baru naik langsung ke Pos 2.” tiba-tiba sebuah suara, yang ternyata berasal dari Pak Mamat, kepala porter Open Trip ini memberi saran.
Wow, super brilian.
Gua gak pernah tau pujian gua bakal berbalik jadi makian setelah ini.
Mengikuti saran Pak Mamat, geng Kloter Akhir + peserta tersisa di pintu Rimba ini langsung cabut mendaki dari pintu Rimba dengan riang gembira.
Mana Telkomsel masih ada sinyal 4G pula. Gua masih sempet bikin konten reels buat teaser instagram @acentris selama pendakian Gunung Rinjani. Cuaca pagi itu juga super mendukung. Berawan, berangin, sedikit ada tanda-tanda hujan tapi kayaknya gak bakalan turun. Jadi cukup adem.
Jalur juga masih yah bonus-bonus semi nanjak. Sempet tau-tau jalur turunan terjal kayak menuju kawah, lanjut naik lagi menuju perbukitan, bertemu kawanan sapi yang lagi merumput makan, semua masih terasa seru dan menyenangkan. Apalagi langsung disambut pemandangan Gunung Rinjani berdiri gagah. Sedikit ngos-ngosan dan keringetan, ah biasalah, masih bisa ditahan, apalagi kebayang tukang ojek yang bakal jadi andelan sampe Pos 2, bikin semangat pisan!
“Wah, gak bisa mas. Kalau mau naik ojek harus nunggu di bawah di pintu rimba.” kata tukang ojek pertama yang lewat di perbukitan pertama setelah geng Kloter Akhir jalan kaki sekitar 15 menit.
“Lho, tapi tadi kata Pak Mamat kita disuru jalan aja nanti kalau ketemu ojek di jalan bisa langsung naik buat ke Pos 2?” seru gua ga mau kalah.
Terlihat muka-muka geng Kloter Akhir semi hopeless. Berbekal info Pak Mamat, gua ga mau kalah tetap berdebat.
“Kalau mau naik ojek yang benernya harus nunggu di Pintu Rimba, soalnya kita mengutamakan yang booking duluan.” kata tukang ojek kedua, sambil terus memacu motor supranya yang udah dimodif jadi motor trail abal-abal.
“Lha, ini kita yang udah booking! Tadi disuru jalan aja dulu nanti naik dari jalan.” gua tetep ngotot.
“Kata siapa itu? Gak bisa, yang bener ya harus nunggu di bawah.” teriak tukang ojek ketiga.
Wah, udah gila.
Gak habis pikir, mumpung masih ada sinyal, gua langsung nelpon Adul meminta pertanggung-jawaban kesimpang-siuran informasi ojek ini.
“Gimana nih Dul, kata Pak Mamat bla-bla-bla syalala-syubidu-bidam. Tapi ojeknya kaga ada yang mau ngangkut katanya gini-gini gitu-gitu?” gua ngomel-ngomel heboh sembari ngelap keringet.
“Wah, jadi kalian jalan? Emang ga bisa itu, ojek ga mau angkut kalo peserta udah pada jalan. Pak Mamat salah info nih….”
DHUARRRRRRRRRRRRRRRR. BENER KAN FIRASAT GUA.
“Yaudah jalan aja pelan-pelan, ma sih pa gi i nih….”
“Gua di belakang kalian kok….”
PAK MAMAT W&@(#(#^jAJSTEKSJ!!!!!