Caption foto : Organisasi pecinta alam selalu menjadi sarana yang tepat bagi anggota-anggotanya untuk melatih rasa tanggungjawab secara konsisten. (WARTAPALA INDONESIA / KMPA UNJ).
Oleh : Dhimas Qodhlizaka
Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) Universitas Negeri Jakarta.
Guru Inklusi di Sekolah Labschool Jakarta
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Melihat sekilas kondisi dunia saat ini, mulai dari perkembangan pesat peran artificial intelligence (AI) yang hampir mencaplok keseluruhan aspek kehidupan manusia, kesimpangsiuran informasi, kecamuk perang regional yang terjadi di Timur Tengah dan Eropa Timur, kemerosotan moral dalam memandang alam yang berimbas pada eksploitasi area hutan berskala masif, pudarnya idealisme serta menjamurnya pragmatisme dan materialisme di kalangan mahasiswa, universitas yang memiliki keutamaan untuk memproduksi pengetahuan, kini diisi oleh kegiatan promosi pekerjaan secara besar-besaran demi menciptakan lulusan yang terampil hanya pada hal teknis, disorientasi nilai esensial dalam bermasyarakat, otoritas lembaga internasional yang dicita-citakan oleh Immanuel Kant dalam menjaga perdamaian umat manusia, kini hanya ilusi belaka karena standar ganda yang diterapkan oleh masing-masing negara adikuasa, dan mungkin masih banyak lagi yang dapat dilihat dan dirasakan.
Kebingungan atas fenomena di atas, saya ingin mengkritisinya dengan berbagai sudut pandang moral yang telah dibangun. Tujuan khusus pada tulisan ini, semoga khalayak dapat memetik poin strategis, khususnya berbicara mengenai peran organisasi yang saya pribadi geluti yakni organisasi pecinta alam.
Bahwa dalam berorganisasi pecinta alam, dirasa dapat memberi manfaat bukan dalam hal praksis saja. Namun relevan untuk digunakan dalam menyikapi pelbagai fenomena di atas, memberikan wawasan yang luas dan manusiawi untuk menghadirkan ruang intuisi bagi individu bertindak.
Saya akan menarik mundur, menegasi kembali dan mempertanyakan mengenai pengetahuan, karena dirasa pengetahuan merupakan modalitas utama manusia untuk menjalankan kehidupan. Apakah sebuah pengetahuan dapat bermanfaat terhadap hal praksis saja? Apakah pernah mendengar istilah “useless” knowledge?
Istilah “useless” knowledge merujuk pada istilah pengetahuan yang tidak memberikan manfaat material secara praktis bagi yang mempelajarinya. Istilah “useless” knowledge pertama kali muncul dari seorang filsuf sekaligus matematikawan berkebangsaan Inggris, yaitu Bertrand Russell.
Dalam esainya berjudul “Useless” Knowledge tersebut, Russel menyoroti dengan cermat pergeseran nilai pada diri pengetahuan mulai dari masa renaisans hingga sampai saat ini.
Dalam esainya Russel (1935) mengatakan :
Semua orang tahu kisah kontak pertama Hobbes dengan Euclid: membuka buku itu, secara kebetulan, pada teorema Pythagoras, dia berseru, “Demi Tuhan, ini mustahil,” dan terus membaca bukti-bukti secara terbalik hingga, sampai pada aksioma-aksioma, dia menjadi yakin. Tidak ada yang bisa meragukan bahwa ini adalah momen yang menggairahkan baginya, yang tidak dinodai oleh pemikiran tentang kegunaan geometri dalam mengukur bidang.
Di masa tersebut, orang sangat bergairah untuk mempelajari dan memuji keajaiban pengetahuan dalam menjelaskan fakta-fakta yang terjadi pada realita. Sebelum akhirnya pemahaman manusia mengenai pengetahuan bukan lagi berguna untuk memberikan wawasan yang luas dan manusiawi, tetapi tersudut hanya memberi kebermanfaatan dalam keterampilan praktis.
Russel mengatakan :
Pengetahuan, di mana-mana, tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang baik, atau sebagai sarana untuk menciptakan pandangan yang luas dan manusiawi terhadap kehidupan secara umum, tetapi hanya sebagai bahan dalam keterampilan teknis.
Kesimpulan akhir pada esainya, Russel menarik benang merah bahwa pengetahuan yang tidak berguna (“useless” knowledge) memberikan pandangan yang luas dan manusiawi untuk turut andil sebagai penyeimbang dalam menata kehidupan yang berkelanjutan bagi manusia.
Tidak perlu panjang lebar, berikut beberapa pandangan filosofis dari beberapa penulis yang relevan dengan aktivitas organisasi pecinta alam dalam menyoroti fenomena demoralisasi saat ini, sebagai berikut :
a. Vita Activa dalam The Human Condition – Hannah Arendt
Vita Activa merupakan klasifikasi tindakan manusia yang dirumuskan oleh Hannah Arendt, seorang filsuf Yahudi sekaligus penyintas agenda holocaust yang kontroversial di kalangan Yahudi sendiri karena karyanya berjudul Banality of Evil, berisikan catatan reportasenya dalam menyoroti fenomena pengadilan seorang Adolf Eichman di pengadilan Nuremberg, dan menyimpulkan pandangan bahwa, “Eichman adalah warga negara yang taat hukum”.
Dalam karyanya yang lain berjudul The Human Condition konsep Vita Activa, Arendt mencoba mengklasifikasikan aktivitas manusia yang terbagi menjadi tiga ranah : bekerja (labor), berkarya (work), dan bertindak (action).
Definitif singkat pada konsep tersebut, di ranah pertama yaitu bekerja (labor). Arendt menjelaskan bahwa di ranah bekerja manusia melakukan aktivitas sebatas hanya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, seperti tidur, makan, minum dan mandi.
Dalam ranah kerja ini, manusia dalam kondisi yang tidak tersadarkan karena mereka melakukan aktivitas secara mekanisme atas dasar pemenuhan biologisnya. Dalam ranah ini Arendt mengistilahkan manusia sebagai animal laborans.
Klasifikasi aktivitas selanjutnya yaitu, berkarya (work). Karya diawali dengan adanya penemuan alat-alat produksi, yang membantu manusia dalam meningkatkan produktivitas kerja (Indah, 2015). Arendt mendefinsikan konsep pada tingkatan ini bahwa manusia mulai menggunakan daya kreatifnya untuk menciptakan sesuatu atas dasar mengefisiensikan kebutuhannya seperti manusia melakukan aktivitas membuat kendaraan untuk memangkas waktu perjalanan yang cukup panjang, membuat handphone untuk mempermudah dalam melakukan komunikasi, dan lain-lain. Pada tingkat karya ini Arendt mengistilahkan manusia dengan sebutan homo faber.
Dampak positif dari aktivitas kedua ini, kehidupan manusia semakin efektif karena manusia mulai menciptakan karya atau memproduksi teknologi untuk membantu mengefisiensikan pekerjaannya.
Namun sebaliknya, dampak negatif yang ditimbulkan pada ranah ini, manusia masih belum mampu menjangkau masalah yang dapat terjadi seperti penurunan pemakaian tenaga manusia karena sudah tergantikan oleh produk atau teknologi yang dihasilkan sehinga mengakibatkan ketimpangan ekonomi dalam masyarakat.
Jelas dalam tingkat kedua ini manusia masih belum mampu berpikir secara bijak melihat akibat yang dihasilkan karena proses produksi teknologi yang terlalu masif.
Tingkat terakhir dalam the human condition adalah aktivitas bertindak (action). Arendt menyebut manusia pada tingkat ini dengan istilah homo politicus. Pada ranah ini manusia sudah tersadar secara penuh dalam melakukan tindakannya. Manusia membangun ruang komunitas untuk keberlangsungan hidup mereka ke arah yang lebih bijaksana. Tingkat ini merupakan tingkat teratas dari ranah sebelumnya. Pada kondisi tersebut manusia mampu mengambil peran politik untuk memanuver kehidupan untuk kepentingan orang banyak.
Konsep pemikiran Hannah Arendt di atas, dapat dikontekstualkan dengan kehidupan dalam organisasi pecinta alam. Seperti biasa dalam sebuah organisasi, di awal tahun digunakan untuk merancang program setahun/dua tahun penuh.
Selanjutnya dilakukannya pengontrolan program melalui agenda setiap triwulannya, dan diakhiri dengan melakukan evaluasi atas program yang telah dirancang di penghujung tahun.
Dalam aktivitas yang diartikulasikan di kegiatan organisasi khususnya pecinta alam, aktivitas tersebut sudah melampaui dua ranah dalam the human condition Hannah Arendt.
Dalam sebuah organisasi, dibiasakan untuk merancang program yang berkenaan dengan nilai nilai seperti penelitian, pengabdian, dan pendidikan dibalur dengan rasa kesukarelaan yang diinternalisasi.
Bersyukurnya, hal yang menjadi kebiasaan kita dalam aktivitas di organisasi merupakan corak yang terdapat dalam ranah tertinggi pada the human condition Hannah Arendt yaitu bertindak (action). Dalam kegiatan di organisasi, kita juga dibiasakan untuk memberi serta mencari landasan-landasan yang menjadi pijakan fundamental pada program.
Arena organisasi pecinta alam yang plural, menjadi tantangan tersendiri untuk tetap menyatukan visi dan terus membudayakan kegiatan yang bertujuan mulia, yaitu demi keberlangsungan hidup manusia.
Poin tersebut menjadi poin penyeimbang, karena bila dilihat dalam ranah aktvitas karya, manusia yang telah menggunakan daya kreatifitasnya dalam membuat produk untuk mengefisiensikan pekerjaannya, belum mampu menjadi jawaban atas segala fenomena demoralisasi yang terjadi saat ini.
b. “Makin Bertanggungjawab Makin Bebas” Etika Dasar – Franz Magnis Suseno
Pada substansi ini, saya akan menyoroti dari pandangan moral menurut Franz Magnis Suseno. Judulnya saya ambil dari sub bab buku Magnis berjudul Etika Dasar. Dari judul poinnya sekilas memang terlihat kontradiktif. Namun kedua komponen tersebut saling terikat satu sama lain. Kebebasan adalah buah dari tanggung jawab indvidu.
Pandangan kita terhadap kebebasan dirasa masih sangat dangkal untuk memahaminya. Sehingga hal-hal yang bernarasi kebebasan direduksi semata-mata hanya sebatas kebebasan individu untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal. Dengan akal tersebut manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak dan bertanggungjawab atas kehendaknya. Berbeda dengan hewan, karena tidak memiliki akal dan hanya mengandalkan insting, maka mereka tidak memiliki tanggung jawab atas apa yang mereka lakukan (Suseno, 1987).
Maka dari itu, manusia memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab atas kehendak yang mereka pilih, karena apa yang mereka hendaki berdasarkan akal.
Pada buku tersebut Magnis juga menjelaskan bahwa manusia juga memiliki insting sama seperti hewan. Tetapi dalam kebanyakan kasus, insting tersebut tidak dapat membimbing manusia untuk memilih pillihan yang tepat.
Magnis menjabarkan terdapat dua poin bilamana manusia tidak dapat memenuhi tanggungjawab atas apa yang dikehendaki. Pertama, menyempitnya persepsi orang tersebut karena semuanya hanya dilihat sebatas untuk kepentingan dan perasaan pribadinya.
Kedua, semakin lemah dan tidak bebas lagi untuk menentukan arah bagi dirinya sendiri karena ia membiarkan dirinya untuk didorong dengan pilihan-pilihan yang irasional, didorong oleh perasasan-perasaan sentimen, emosinya dan kemalasannya (Suseno, 1987).
Manusia sangat bebas untuk memilih apa yang ingin dilakukan, tetapi bertanggungjawab terhadap apa yang ia pilih merupakan tantangan tersendiri. Makin bertanggungjawab makin bebas.
Pada poin tersebut Magnis menggambarkan bahwa orang yang bertanggungjawab terhadap pilihannya dan mampu menyelesaikan apa yang ia pilih, makai ia akan menjadi lebih kuat, lebih bermakna, dan lebih mampu memilih arah untuk kehidupanya.
Sebaliknya, bagi orang yang tidak bertanggungjawab atas pilihannya, ia akan semakin lemah, mencari aktivitas pelarian lain untuk menutup-nutupi kelemahannya, berpura-pura menyibukkan diri agar terlihat sama seperti orang pada umumnya, tidak akan mampu untuk melampaui dirinya atas apa yang mereka sendiri hendaki.
Organisasi pecinta alam selalu menjadi sarana yang tepat bagi anggota-anggotanya untuk melatih rasa tanggungjawab secara konsisten. Aktivitas yang memerlukan kesukarelaan untuk bertindak menjadi nilai tambah untuk memperkokoh rasa tanggungjawab terhadap pilihan-pilihan yang dikehendaki, dan tentu memantapkan kemurnian hati.
Semua itu didapatkan tidak cukup hanya melalui kegiatan membaca slogan-slogan bijak dalam konten praktis, suatu proses dan kesadaran yang konstan diperlukan agar tidak bias dalam melihat keutamaan sebagai individu.
Sebagai penutup pada poin ini, saya mengambilnya dari konten instagram yang pernah dibuat oleh Pak Junanto saat masih menjabat sebagai Wakil Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah tahun 2023. Bahwa semakin dewasa bentuk kemalasan kita, akan terlihat bias. Bilamana sewaktu kecil kita malas mengerjakan PR dan lebih memilih untuk bermain, ketika dewasa rasa malas tersebut akan berbentuk kebaikan-kebaikan lain seperti mengerjakan tugas lain, berolahraga, mencari pelarian dari pada bertanggungjawab atas pekerjaan utamanya.
c. Ecoliteracy – Fritjof Capra
Krisis yang sedang dihadapi peradaban barat adalah “krisis persepsi”. Stuck dalam materialisme, konkretisme, dan fisikalisme. Dunia direduksi hanya sebatas pada yang konkret. (Fritjof Capra, 1984)
Fritjof Capra merupakan seorang penulis kelahiran Wina, Austria. Pada poin ini saya akan menyoroti dari karya tulis Capra yang concern membicarakan aspek lingkungan hidup.
Dia merumuskan sebuah konsep “melek ekologi” atau ecoliteracy. Istilah ecoliteracy digunakan oleh Capra untuk menggambarkan kondisi manusia yang sudah mencapai kesadaran tinggi mengenai pentingnya lingkungan hidup (Keraf, 2013).
Capra mengkritik paradigma yang sangat populer di barat pada waktu itu yakni paradigma Mekanistis Cartesian-Newtonian. Dia mengkritik karena paradigma tersebut sangat tidak mau memberi ruang pada intuisi manusia untuk memahami alam semesta (Irsad, 2018).
Paradigma Mekanistis Cartesian-Newtonian tidak melihat alam semesta sebagai hal yang imanen atau ada pada dirinya sendiri, dan beranggapan bahwa alam semesta semata-mata hanya direduksi sebagai objek penelitian manusia, dan tidak menyertakan manusia menjadi satu bagian yang holistik pada alam semesta. Capra mengatakan bahwa peradaban barat sedang menghadapi “krisis persepsi”.
Capra berpendapat untuk mengatasi masalah dan krisis lingkungan hidup yang terjadi, dia mengusulkan untuk membangun dan menata kembali masyarakat sebagai sebuah masyarakat yang berkelanjutan dengan berpola ekosistem yang berkelanjuan (Keraf, 2013). Masyarakat harus menata kembali segala aspek kehidupannya dengan mengikutsertakan aspek lingkungan hidup dalam pola yang berkelanjutan.
Capra dalam bukunya berjudul The Hidden Connection mengkonstruk beberapa prinsip atas revisi dari prinsip-prinsip yang sebelumnya dia buat juga, yaitu: Prinsip jejaring, prinsip siklus, prinsip energi surya, prinsip kemitraan, prinsip keanekaragaman, dan yang terakhir prinsip keseimbangan dinamis (Keraf, 2013).
Keenam prinsip di atas dirumuskan Capra agar menjadi guidelines manusia dalam menata kembali kehidupannya. Menata kembali yang dimaksud di sini adalah merombak kembali keseluruhan aspek seperti pada aspek ekonomi, kebijakan politik, pendidikan, industri, sampai pada hal-hal yang kecil sekalipun.
Pandangan ecoliteracy ini merupakan poin strategis. Keberuntungan bagi orang yang berorganisasi pecinta alam, jelas mereka sangat dekat dengan alam.
Reflektif mendalam atas menjadi kesatuan holistik dari alam merupakan poin utama pada pemikiran Capra, serta pola yang diartikulasikan organisasi pecinta alam pada program-programnya selalu melibatkan alam menjadi substansinya. Mulai dari kegiatan yang berkarakter petualangan maupun penelitian, selalu mengarusutamakan aspek lingkungan hidup karena merupakan ruh utamanya dalam organisasi pecinta alam.
Meski saat ini implikasi praktis dari organisasi pecinta alam berkembang cukup luas, pada poin pemikiran Capra mengenai “melek ekologi” tidak dapat dikesampingkan oleh pecinta alam untuk mengimbangi dalam menata kehidupan yang berkelanjutan.
Keberuntungan lain yang dapat diraih oleh seseorang yang berorganisasi pecinta alam, bahwa dia tidak akan terjerembab dalam krisis persepsi seperti apa yang terjadi pada peradaban barat, karena melibatkan persepsi yang cukup luas dalam menanggapi segala fenomena.
Dari ketiga pandangan di atas tidak akan memberikan pengetahuan praktis bagi pembaca, tidak akan memberi tahu bagaimana cara menghitung inklinasi deklinasi, cara mendayung yang benar, ketepatan titik dalam menembakan klino, atau keterampilan teknis kepecintaalaman lainnya. Kita harus mengambil jarak sesaat pada hal-hal praksis untuk merenungkan secara mendalam, melihat kebajikan-kebajikan yang dapat dilakukan bahkan teroganisir, membaca peran yang cukup strategis untuk menempatkan diri pada pertanyaan, “Apa yang dapat saya lakukan?”.
Manusia dapat melakukan aktivitas apapun bertumpu pada paradigma eksistensialis individu maupun harus mencari dulu esensial atas makna tertentu, pandangan yang luas dan terbuka membuka jalan bagi manusia untuk berperilaku bijak.
Di masa yang serba-serbi berjalan sangat cepat, pengetahuan yang tidak berguna (“useless” knowledge) memberi cara pandang yang luas bagi manusia, bila dikolaborasi dengan emosi impersonal akan menjadi kebijaksanaan yang mudah muncul (Russel, 1935).
Melakukan rekreasi ke alam bebas dan memberi ruang untuk melakukan kontemplasi mungkin akan memurnikan hati dan tindakan kita agar terhindar dari segala kepentingan pribadi semata. Karena bagi kita, yang tidak dapat dipungkiri adalah manusia merupakan kesatuan holistik dalam tatanan alam semesta. (dq)
Daftar Pustaka
Indah, Astrid Veranita. (2015). Jatidiri Manusia Berdasarkan Filsafat Tindakan Hannah Arendt Perspektif Filsafat Manusia : Relevansi Dengan Pelanggaran HAM Tahun 1965-1966 Di Indonesia. Jurnal Filsafat, Vol 25, 277 315.
Irsan, Husen Muhammad. (2018). Filsafat Lingkungan Hidup dalam Pemkiran Fritjof Capra. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Keraf, A Sonny. (2013). Fritjof Capra Tentang Melek Ekologi Menuju Masyarakat Berkelanjutan. Diskursus, Vol 12, 54-81.
Russel, Bertrand. (1935). In Praise of Idleness and Other Essays. United Kingdom.
Suseno, Franz Magnis. (1987). Etika Dasar : Masalah masalah Pokok Filsafat Moral. Kanisius.
Tuwanakotta, Jacqueline. (2024). Manusia tindakan sebagai Manusia Politik : Sebuah Autentisitas dari Teori Politik Hannah Aredt. Jurnal Dekonstruksi, Vol 10, 34-44.
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)