Oleh: Cakrawala Kirie
Himapala Universitas Muhammadiyah Kupang
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Di zaman yang penuh dengan hiruk pikuk modernisasi dan industrialisasi, alam sering kali menjadi korban yang terlupakan. Dari gunung yang menjulang tinggi hingga samudera yang tak bertepi, kerusakan lingkungan terus terjadi. Namun, di tengah ancaman ini, sekelompok individu berdiri teguh, melawan arus konsumerisme dan ketidakpedulian : para pecinta alam.
Mereka yang awalnya hanya menjadikan alam sebagai tempat berlibur, kini berubah menjadi garda terdepan dalam perjuangan lingkungan. Dari sekadar pendaki gunung menjadi aktivis lingkungan, transformasi ini tak ubahnya metamorfosis seekor ulat menjadi kupu-kupu yang kuat dan tangguh.
Transformasi dari Hobi Menjadi Perjuangan
Awalnya, banyak dari pecinta alam yang hanya ingin menikmati keindahan alam. Mereka mendaki gunung untuk melihat matahari terbit, menyelam ke dalam laut biru yang menenangkan, atau sekadar berkemah di pinggir hutan untuk mendengarkan bisikan angin di antara pepohonan. Namun, semakin mereka dekat dengan alam, semakin mereka menyadari bahwa alam tidak seindah dulu. Gunung yang mereka daki kini dipenuhi sampah plastik, terumbu karang yang dulu berwarna-warni sekarang memutih, dan hutan-hutan yang dulunya hijau kini terbakar atau bahkan gundul.
Di balik setiap petualang yang mendaki gunung atau menyelam di kedalaman lautan, ada kisah yang lebih besar dari sekadar hobi. Di awal perjalanan, mungkin banyak dari mereka yang hanya ingin menaklukkan puncak tertinggi atau merasakan adrenalin saat meluncur di air terjun. Namun, di balik keinginan itu, ada kedekatan emosional yang perlahan terbangun dengan alam. Alam bukan lagi sekadar latar belakang petualangan, tetapi menjadi bagian integral dari identitas mereka. Ketika seorang pecinta alam mulai memahami bahwa tempat-tempat indah yang mereka kunjungi perlahan-lahan dirusak oleh tangan manusia, mereka mulai merasakan panggilan yang lebih dalam : panggilan untuk bertindak.
Proses transformasi ini sering kali dimulai dari hal kecil. Seorang pendaki gunung yang melihat banyak sampah di jalur pendakian mungkin awalnya akan merasa kesal, tetapi pada akhirnya akan membawa kantong sampah untuk membersihkan area tersebut. Aktivitas ini, meskipun sederhana, adalah titik awal dari sebuah kesadaran yang lebih besar. Lambat laun, mereka mulai menyadari bahwa menjaga alam bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga lingkungan, tetapi juga tanggung jawab mereka sebagai individu.
Menurut Dr. Firdaus Rahman, ada fenomena psikologis yang dikenal sebagai biophilia — rasa cinta alami terhadap alam yang melekat pada setiap manusia. “Saat seseorang sering berinteraksi dengan alam, ia mulai merasakan hubungan yang mendalam. Ini bukan lagi tentang menaklukkan puncak gunung atau berenang di laut dalam, melainkan tentang melindungi tempat-tempat tersebut agar tetap bisa dinikmati oleh generasi mendatang,” ungkap Dr. Firdaus.
Perubahan dari hobi menjadi perjuangan juga sering kali didorong oleh keterlibatan dalam komunitas pecinta alam. Mereka yang awalnya hanya ingin menikmati keindahan alam dengan cara pribadi, mulai terlibat dalam diskusi tentang masalah lingkungan yang lebih luas. Di sinilah mereka mendapatkan pemahaman lebih mendalam tentang isu-isu lingkungan, seperti deforestasi, polusi plastik, perubahan iklim, hingga kerusakan terumbu karang.
Ahyar Stone dalam bukunya Pecinta Alam adalah Pendidikan Karakter mengatakan bahwa, “Hati nurani adalah kemampuan terdalam yang dimiliki setiap orang untuk menemukan kebenaran”. Hal itulah yang juga mendorong hati dan jiwa raga pecinta alam tidak bisa menerima kenyataan bahwa alam itu telah rusak karena ulah tangan manusia lainnya, sehingga pecinta alam menganggap hal demikian bertentangan dengan prinsip hidup seorang pecinta alam.
Perusakan lingkungan, dalam bentuk apa pun, bertentangan secara mendasar dengan prinsip dan hati nurani seorang pecinta alam. Bagi mereka, alam bukan hanya tempat untuk dinikmati, tetapi merupakan bagian dari kehidupan yang harus dijaga dan dilestarikan. Hati nurani seorang pecinta alam mendorong mereka untuk berperan sebagai penjaga alam, bukan perusak. Kerusakan lingkungan, entah itu deforestasi, pencemaran air, atau eksploitasi sumber daya alam, melukai prinsip-prinsip dasar yang dipegang oleh mereka yang mencintai alam.
Perubahan ini bukanlah kebetulan. Kedekatan dengan alam membuat para pecinta alam memahami bahwa mereka tidak hanya sekadar penikmat keindahan alam, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjaganya. Aktivitas yang awalnya hanya sekadar hobi, lambat laun berkembang menjadi aksi nyata. Inilah titik di mana seorang pecinta alam berubah menjadi seorang pejuang lingkungan.
Menjadi Pecinta Alam yang Militan
Di saat seseorang berinteraksi langsung dengan alam, ada keterikatan emosional yang terbentuk. Mereka melihat sendiri bagaimana dampak perubahan iklim, deforestasi, dan polusi. Inilah yang sering memicu keinginan untuk bertindak lebih dari sekadar menikmati alam. Mereka merasa terpanggil untuk menjaga dan melindungi apa yang mereka cintai.
Pendapat ini didukung Puspita Ningtyas Anggraini, CEO dari Wartapala Indonesia, yang menegaskan bahwa pecinta alam tidak lagi sekadar mendaki gunung atau menyelam, tetapi juga menjadi agen perubahan sosial.
“Mereka menjadi duta lingkungan. Mereka yang dulunya hanya mengunggah foto-foto keindahan alam di media sosial, sekarang menggunakan platform tersebut untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga bumi,” tambahnya.
Contoh nyata transformasi ini dapat dilihat pada banyak komunitas pecinta alam yang tidak hanya melakukan aktivitas di alam, tetapi juga terlibat dalam berbagai gerakan konservasi. Komunitas seperti Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) atau KPA (Komunitas Pecinta Alam) tidak hanya menjadi wadah bagi para pecinta petualangan, tetapi juga platform untuk gerakan pelestarian lingkungan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh para pecinta alam di belahan bumi bagian manpun. Sebagai contoh penulis sedikit mengangkat tentang perjuangan Himapala UM Kupang (Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Muhammadiyah Kupang) dalam mengatasi permasalah sampah di Kota Kupang.
Walhi NTT dalam Kompasiana mengatakan, “Melansir dari media The Asian Parent.com, tanggal 3 Juni 2022, Kota Kupang kembali mempertahankan gelar sebagai kota sedang terkotor oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal ini bukanlah menjadi yang pertama kali, sebab sebelumnya pada tahun 2019, Kota Kupang juga pernah dinobatkan KLHK sebagai salah satu kota sedang terkotor di Indonesia dalam penilaian program Adipura periode 2017-2018. (Kompas.com, 2019).
Berangkat dari keresahan itu Himapala UM Kupang, terpanggil untuk turut andil berkontribusi untuk menyelesaikan problem tersebut. Di tengah bayang-bayang keputusasaan, Himapala UM Kupang di bawah kepemimpinan Cakti, Matilda, Zulkhaedir dan anggotanya, muncul sebagai cahaya harapan yang menerangi jalan keluar. Pada 23 Juni 2022 mereka melahirkan Donasi Sampah Mu, sebuah inisiatif yang tak hanya memberdayakan masyarakat tetapi juga merombak paradigma tentang sampah.
Di tangan mereka, sampah bukan lagi masalah, melainkan aset berharga. Himapala UM Kupang telah mengukir kisah yang menginspirasi untuk bangkit dari keterpurukan ekologis. Hingga kini Donasi Sampah Mu masih eksis berjalan. Memang benar pecinta alam sebagai pejuang lingkungan.
Banyak dari mereka kini terlibat dalam kampanye penghijauan, rehabilitasi hutan, hingga aksi bersih-bersih laut dan pantai. Bahkan, di beberapa tempat, komunitas pecinta alam menjadi garda terdepan dalam advokasi kebijakan lingkungan. Mereka melawan pembangunan yang merusak lingkungan, menolak penebangan liar, dan berjuang untuk perlindungan kawasan konservasi.
Kekuatan Solidaritas dan Kolaborasi
Selain transformasi individu, kekuatan komunitas pecinta alam juga terletak pada solidaritas dan kolaborasi. Mereka saling berbagi ilmu, pengalaman, dan strategi dalam menjaga alam. Aktivitas yang awalnya hanya dilakukan perorangan, kini menjadi gerakan kolektif yang lebih besar, mereka bekerja sama dengan berbagai pihak.
Hal diataslah yang menjadi faktor kunci dalam transformasi pecinta alam menjadi pejuang lingkungan yaitu kekuatan solidaritas dan kolaborasi. Gerakan ini tidak hanya lahir dari individu yang tergerak oleh hati nurani, tetapi dari komunitas yang memperkuat satu sama lain dengan tujuan yang sama.
Solidaritas di antara pecinta alam merupakan fondasi utama dalam menciptakan dampak yang nyata. Mereka menyadari bahwa tindakan individu — meskipun penting –tidak cukup untuk menghadapi tantangan besar yang dihadapi lingkungan. Dibutuhkan kekuatan kolektif untuk mengubah arah kehancuran alam menuju pelestarian.
Seperti serangkaian akar pohon yang saling terhubung di bawah tanah, solidaritas dan kolaborasi ini membuat gerakan pecinta alam menjadi lebih kuat dan tahan terhadap guncangan. Ketika satu pohon ditebang, yang lain berdiri lebih kokoh, menyerap cahaya untuk melanjutkan pertumbuhan. Bersama-sama, mereka adalah benteng terakhir yang melindungi bumi dari kehancuran total. Solidaritas ini tidak hanya menyatukan manusia, tetapi juga menyatukan mereka dengan alam yang mereka cintai dan perjuangkan.
Seperti halnya kupu-kupu yang terbang di angkasa setelah melalui fase kepompong, para pecinta alam kini terbang tinggi sebagai pejuang lingkungan. Mereka mengingatkan kita semua bahwa menjaga bumi bukan hanya tanggung jawab segelintir orang, tetapi merupakan kewajiban bersama.
Kesimpulan
Transformasi pecinta alam menjadi pejuang lingkungan adalah fenomena yang menginspirasi. Dalam dunia yang semakin terancam oleh perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam, mereka adalah harapan bagi masa depan. Mereka tidak hanya berpetualang di alam bebas, tetapi juga berjuang untuk melindunginya. Dengan semangat yang tak kenal lelah, mereka adalah bukti bahwa dari sebuah hobi, bisa lahir gerakan besar yang mampu menyelamatkan bumi.
Pecinta alam tidak sekadar mencintai hutan, gunung, dan lautan; mereka adalah jiwa-jiwa yang menyatu dengan alam, menjadi penopang terakhir dari peradaban yang tersisa. Perusakan lingkungan adalah luka yang menembus jiwa mereka, lebih dalam dari sekadar retakan di bumi.
Mereka tidak hanya berjalan di antara pepohonan atau berenang di antara terumbu karang, tetapi mereka membawa beban dunia di atas bahu mereka, layaknya Atlas yang menopang langit. Dalam setiap langkah mereka, ada tekad yang tak tergoyahkan untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran.
Transformasi dari pecinta alam menjadi pejuang lingkungan bukanlah perubahan kecil, tetapi sebuah metamorfosis epik yang layak dikenang dalam sejarah perjuangan manusia. Pecinta alam adalah penjaga terakhir dari surga yang perlahan-lahan memudar, dan tanpa mereka, kita akan jatuh ke dalam jurang kehancuran yang tak terhindarkan. (ck).
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Daftar Pustaka
Anggraini Ningtyas. Pada Seminar Nasional Kebencanaan di Universitas Muhammadiyah Kupang, 2024.
Firdaus Rahman, Dr. Transformasi Pecinta Alam Menjadi Aktivis Lingkungan. Jurnal Ekologi Indonesia, vol. 12, no. 3, 2022.
Kompasiana. 2022. https://www.kompasiana.com/tauhumba/62b3290fa0cdf85fa817f5e2/walhi-ntt-kota-kupang-juara-bertahan-kota-sedang-terkotor-di-indonesia?lgn_method=google
Lestari, Agung. Ekowisata dan Pecinta Alam: Kolaborasi untuk Masa Depan Bumi. Green Earth Journal, vol. 9, no. 2, 2021.
Rahman, Firdaus. Hubungan Psikologis antara Pecinta Alam dan Lingkungan: Perspektif Biophilia. Jurnal Psikologi Lingkungan Indonesia, vol. 15, no. 2, 2022, pp. 45-60.
Stone Ahyar. Pecinta Alam Adalah Pendidikan Karakter. Anom Pustaka SARMMU. Cetakan ke 4. Yogyakarta, 2021.
Wibisono, Aditya. Mapala dan Konservasi Alam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Alam, 2021
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)