Oleh: Fikra Alfath Farades (M-1101-UI)
Ketua Mapala UI 2024
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Pada tahun “vivere pericoloso” di Indonesia, terdapat golongan mahasiswa yang mulai terjun pada politik praktis melalui organisasi mahasiswa seperti GMNI, CGMI, PMKRI, dan HMI yang memiliki ikatan dengan partai politik tertentu. Pada saat itu kegiatan mahasiswa tidak sebanyak sekarang, sehingga organisasi semacam itu lumayan banyak diminati sebagai wadah pembelajaran dan pengabdian selama kehidupan kampus. Namun terdapat beberapa mahasiswa yang nampaknya sudah muak dengan politik di kampus yang tidak jauh berbeda dari pemerintahan orde lama. Hingga akhirnya tercetus ide membuat organisasi ‘pencinta alam’ dengan semangat idealisme untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan kecintaan terhadap alam dan bangsanya dengan sungguh-sungguh.
Sejak 2022 saya banyak bertemu dengan anggota Mapala dari pelbagai daerah. Ada banyak jenis mahasiswa-mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai anggota Mapala, dari mulai cara berpikir mereka di kampus yang menganggap bahwasanya menjadi anggota Mapala berarti menjadi ‘mahasiswa paling lama’ hingga cara mereka menampilkan diri mereka sebagai anggota Mapala. Biasanya penampilan mereka identik dengan rambut gondrong, aksesoris gelang yang cukup banyak, kemeja PDH (Pakaian Dinas Harian) organisasi, sampai slayer yang menjadi benda paling suci yang mereka gunakan.
Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, jika Mapala UI merupakan organisasi Mapala pertama di Indonesia, mengapa gaya berpakaian kami tidak sama seperti mereka? Mengapa cara berpikir kami pun cukup jauh berbeda? Dan mengapa gaya pendidikan yang mereka jalani terlampau jauh dari kami? Tidak sampai di situ, saya pun kembali mempertanyakan untuk apa Mapala ada di Indonesia dan apa sumbangsih kita seharusnya terhadap bangsa ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu kembali pada tahun “hidup penuh bahaya” yang disebut oleh Presiden Soekarno sebagai tahun “vivere pericoloso” pada pidatonya dalam HUT Indonesia yang ke-19 atau tepatnya 1964.
Hidup Harus Lebih dari Sekedarnya
Pada tahun 1964 kegiatan naik gunung dan masuk ke hutan bukan merupakan kegiatan yang umum dilakukan oleh banyak orang seperti dewasa ini. Hal itu tentunya menjadi pertanyaan bagi kita, untuk apa golongan mahasiswa pada masa itu membentuk organisasi pencinta alam yang suka naik gunung serta bermalam di hutan. Tentunya pada masa kini, kegiatan tersebut lebih mudah dilakukan dengan akses terhadap informasi, alat-alat yang memiliki teknologi canggih, serta minat masyarakat yang cukup tinggi untuk bergiat di alam.
Mapala UI dikenal sebagai perintis organisasi pencinta alam di lingkungan kampus pada 12 Desember 1964. Pada masa-masa sulit tersebut, kegiatan seperti berkemah, menjelajahi hutan, dan mendaki gunung masih sangat jarang dilakukan. Keamanan saat itu masih belum kondusif, dengan ancaman pemberontakan DI/TII yang terus terjadi di pelbagai wilayah pedesaan dan hutan, membuat perjalanan lintas daerah menjadi sangat berbahaya. Akibatnya, aktivitas mahasiswa lebih terkonsentrasi di kota. Organisasi mahasiswa yang populer pada waktu itu umumnya terafiliasi dengan partai politik dan saling bersaing, seperti GMNI, CGMI, HMI, dan PMKRI. Meskipun ada organisasi independen seperti Imada, PMB, dan CSB, perkembangannya cukup terhambat. Di tengah situasi politik yang penuh intrik, Soe Hok Gie menggagas ide untuk membentuk organisasi yang bisa menyatukan pelbagai kelompok mahasiswa di luar ranah politik, dengan fokus pada kegiatan di alam bebas (Julianti Taluki: 2004).
Mapala merupakan akronim dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dalam bahasa sanskerta, mapala berarti berbuah atau berhasil. Bagi saya, menjadi anggota Mapala UI berarti menjalani proses bertumbuh melalui lingkungan dan teman-teman untuk menuju proses hidup hingga menjadi berbuah dan berhasil. Selayaknya buah, anggota Mapala UI terus tumbuh pada lingkungan akademis Universitas Indonesia dan berproses untuk menambah nilai-nilai kehidupan di alam bebas. Anggota Mapala UI muda terus dan selalu bergairah, sehingga semangat-semangat baru terus dilahirkan menjadi nafas panjang untuk anak muda menghabiskan aktivitas kehidupan kampusnya dengan cara yang luar biasa.
Terdapat kalimat yang cukup populer di kalangan anak-anak Mapala UI yaitu “hidup harus lebih dari sekedarnya”, yang berarti kita tidak boleh menyia-nyiakan kehidupan, karena hidup yang sekedarnya merupakan hidup yang tidak layak dijalani, maka dari itu kami naik gunung untuk mengenal Indonesia dari dekat dan bukan sekedarnya.
Seiring perkembangan zaman, kegiatan di Mapala UI semakin variatif dari mulai perjalanan biro peminatan seperti arung jeram, panjat tebing, telusur gua, selam, dan paralayang hingga kegiatan pengabdian masyarakat dan lingkungan hidup. Walaupun kegiatan-kegiatannya semakin variatif, akan tetapi mendaki gunung masih menjadi kegiatan utama kami. Para founding fathers/mothers Mapala UI yang kebanyakan aktivis kampus pada masanya meyakini bahwa dengan naik gunung kita dapat mengenal Indonesia dari dekat sehingga dapat menumbuhkan semangat patriotisme. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari prinsip-prinsip yang disalurkan lintas generasi melalui mentoring. Sehingga saya, anggota yang bernomor M-1101-UI masih meyakini betul akan gagasan mengapa kita menjadi anggota Mapala UI dan mengapa kita mendaki gunung.
Dengan mendaki gunung, kita bertemu dengan masyarakat desa setempat dan melakukan interaksi. Sebagai proses belajar, interaksi bersama masyarakat menjadi penting untuk saling mengenal. Dengan mengenal orang-orang, adat, kebudayaan, dan tempat yang ada di Indonesia melalui mendaki gunung, harapannya kita dapat menumbuhkan semangat patriotisme yang tidak bisa dicapai melalui jendela bus kota apalagi mobil mewah.
Mapala Masa Kini
Tahun berlalu, detik menjadi menit, tiba-tiba jam menjadi hari yang terus berganti. Saya di sini membersamai teman-teman di Mapala UI yang sudah berumur 60 tahun lamanya sejak dibentuk pada 12 Desember 1964. Walaupun generasi sudah berubah, tantangan baru muncul, dan orientasi anak muda semakin berubah, tentunya saya harus dapat berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang sudah digagas sejak dulu. Yang baik biarlah terus bertumbuh baik, dan yang buruk biarlah dia dibinasakan agar tidak pernah muncul kembali.
Untuk melihat bagaimana keadaan Mapala masa kini, saya beberapa kali mampir ke sekretariat Mapala di pelbagai daerah. Kesempatan-kesempatan terus berdatangan bahkan tanpa diminta. Entah cerita dari saya atau teman-teman Mapala UI yang juga berkunjung ke beberapa sekretariat Mapala di seluruh penjuru yang mungkin. Ada juga cerita-cerita yang datang pada saat sekretariat Mapala UI mendapat kunjungan dari teman-teman Mapala dari mana saja yang dapat kami tampung di Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Sepertinya teman-teman Mapala akan sepakat jika saya mengatakan anak-anak Mapala itu aneh-aneh, yang dengan bahasa halusnya dapat kita sebut ‘unik’. Coba saja kalian berkunjung ke suatu kampus di Indonesia, jika kalian ingin melihat bentuk-bentuk mahasiswa paling aneh di Indonesia, silahkan berkunjung ke sekretariat Mapala di kampus setempat.
Menurut saya, Mapala memiliki potensi besar di Indonesia, banyak hal yang seharusnya bisa kita lakukan untuk alam dan bangsa, tapi realisasinya tidak demikian. Jika kita melakukan refleksi kembali pada apa yang ada dewasa ini, umumnya anggota Mapala identik dengan rokok, alkohol, kemalasan, urak-urakan, dan hal-hal kurang baik lainnya. Kebanyakan anggota Mapala tidak menjaga kebugaran tubuhnya, padahal semangat avonturir untuk mencapai titik-titik paling terpencil di Indonesia seharusnya ada pada anggota-anggota Mapala atau yang menyebut dirinya sebagai anak ‘mapala’. Belum lagi tanggung jawab kuliah yang sering kita tinggalkan dan lebih memilih Mapala daripada menyelesaikan tanggung jawab di perkuliahan.
Memang di kondisi tertentu seperti bencana alam, kita, sebagai anggota Mapala kebanyakan tidak sungkan untuk meninggalkan kuliah demi membantu atas rasa kemanusiaan. Hal itu baik, akan tetapi lebih banyak yang tidak baiknya. Misalkan kita meninggalkan perkuliahan karena masih berada di gunung atau hutan karena perencanaan yang kurang baik. Belum lagi senioritas yang rasanya belakangan seharusnya perlahan mulai hilang. Berbicara senioritas, di kalangan Mapala sering sekali terdengar berita-berita tidak enak karena dominasi senior dengan tindakan-tindakan represif yang dilakukan kepada junior, entah itu pada saat pendidikan dasar maupun pada saat keseharian.
Pernah suatu waktu ada orang yang mengirimkan pesan kepada saya, dia bertanya bagaimana tanggapan saya terhadap seniornya yang menyuruh untuk mencuci gelas dan piring serta merapikan hal-hal berantakan yang terdapat di sekretariat bersama mereka. Saya katakan bahwa manusia hidup perlu memegang asas kesetaraan, kita adalah suara-suara yang memperjuangkan keadilan. Apalagi kita adalah mahasiswa, sudah kewajiban kita untuk melawan ketidakadilan yang ada di depan mata.
Di Mapala UI sendiri, senioritas itu tidak ada. Beberapa senior bahkan yang terlampau tua tidak ingin dipanggil dengan sebutan bang/mba. Mereka lebih senang jika kita langsung memanggilnya dengan nama. Salah satunya adalah Herman Lantang.
Tantangan kita, Mapala, di kampus sangatlah banyak. Dari mulai perkuliahan yang semakin singkat, biaya UKT yang mahal, persaingan dengan kegiatan-kegiatan anak muda yang lebih menarik mengakibatkan menjadi anggota Mapala masa kini sangatlah sulit dan penuh tantangan. Belum usai kita dengan masalah-masalah, timbul permasalahan baru. Tapi jika kita meniatkannya untuk suatu proses pembelajaran, maka seharusnya kita dapat melewatinya dengan lebih dewasa. Di sinilah tempat pendewasaan itu terjadi, maka jangan disia-siakan dengan hanya duduk bersantai dan bermalas-malasan di sekretariat.
Bermimpilah dan wujudkan apa yang ingin kalian lakukan sebagai anggota Mapala di kehidupan kampus kalian. Jika kalian ingin berpetualangan, pergilah! Cari apa yang kalian inginkan. Jika kalian ingin berdampak bagi masyarakat, maka lakukanlah pengabdian, datang ke tempat-tempat terpencil di Indonesia, cobalah belajar dari mereka sambil membagikan pengetahuan yang kalian dapatkan di kampus, dan jika kalian peduli pada lingkungan, maka selamatkan bumi dari pemanasan global yang terus berkembang menjadi kiamat besar. Mimpi kalian tidak pernah pergi, maka dari itu jangan pernah berpaling dari mimpi, lakukan apa yang bisa kalian lakukan selagi menjadi mahasiswa pencinta alam.
Mapala Bukan Militer!
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita kita semua tentunya tidak mudah. Kita membutuhkan visi dan misi yang jelas sebagai alat navigasi kita menuju tempat di mana cita-cita kita menunggu untuk terwujud. Proses itu harus dimulai sejak kita menjadi calon anggota, tapi lucunya, kebanyakan organisasi Mapala di luar sana menerapkan sistem penerimaan yang militeristik.
Kita ini bukan tentara-tentaraan! Tapi kita adalah mahasiswa yang berpegang teguh pada nilai kemanusiaan dan kesetaraan. Keadilan adalah jantung yang berdetak kuat dalam setiap nafas kita memulai kehidupan kampus. Jadi jangan sampai kita salah mengikuti arus yang begitu deras sehingga kita lupa bahwa arus tersebut bukan menuju tujuan yang semestinya kita capai.
Banyak yang bertanya kepada anggota-anggota Mapala UI “Apakah benar di Mapala UI tidak ada pendidikan dasar atau pendidikan dan latihan?”. Tentu saja “Tidak” jawab kami.
Para pendiri Mapala UI memulai organisasi ini dari sekumpulan teman bermain yang sudah muak dengan situasi politik di Indonesia pada masanya. Mereka sesekali melakukan aksi untuk mengingatkan para penguasa agar kembali pada jalan kebajikan dan bermanfaat bagi alam dan bangsa Indonesia. Kegiatan mendaki gunung, bermain di alam bebas, menjadi salah satu cara mereka merayakan kehidupan dan menjadi manusia. Kita berinteraksi melalui percakapan, perjalanan, perencanaan, evaluasi perjalanan, dan dengan kebersamaan. Nilai kemanusiaan menjadi yang utama dalam setiap kegiatan.
Lalu pertanyaannya adalah, “Bagaimana Mapala UI melakukan penerimaan anggota?”. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui tujuan dan cita-cita tinggi pendiri Mapala UI pada saat itu. Ada 3 tujuan utama pendirian Mapala UI: pertama, mewujudkan semangat patriotisme di kalangan anggota-anggotanya. Para founding fathers/mothers percaya semangat patriotisme dapat tumbuh saat kita hidup di alam bebas dan di antara masyarakat.
Kedua, adalah mewujudkan sehat fisik dan mental bagi anggotanya. Seorang manusia dapat menjadi sehat jasmani dan rohani ketika aktif dan dekat melalui kegiatan cinta tanah air seperti mendaki gunung. Dan yang ketiga adalah untuk mencapai semangat gotong royong serta kesadaran sosial (Julianti Taluki: 2004). Oleh sebab itu menjadi anggota Mapala UI bukanlah suatu hal yang mudah. Lalu bagaimana kami melakukan proses penerimaan anggota?
Pada mulanya, mahasiswa UI yang akan direkrut menjadi anggota Mapala UI harus melalui proses mentoring yang bisa memakan waktu 1-2 tahun lamanya. Dalam proses mentoring, biasanya anggota Mapala UI mencari kader untuk diajak main bersama menjadi “teman jalan” yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang tersedia di Mapala UI. Kegiatannya pun variatif dari mulai naik gunung, ngumpul bersama di sekretariat, menonton film, dan belajar hal-hal baru yang berkaitan dengan alam bebas.
Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya minat mahasiswa UI untuk mengikuti kegiatan Mapala UI, akhirnya sistem penerimaan dilakukan secara terbuka. Akan tetapi nilai-nilai terdahulu tetap dipegang teguh melalui mentoring antara mentor dan mentee atau senior dan junior. Tidak ada hierarki dalam sistem mentoring, kita cenderung egaliter dalam belajar sesuatu bersama.
Lalu dari mana asalnya sistem pendidikan dasar (Diksar) atau pendidikan dan latihan (Diklat) yang banyak dianut oleh organisasi Mapala pada umumnya? Kenapa Mapala UI tidak menggunakan slayer, dan mengapa organisasi Mapala pada umumnya menggunakan slayer sebagai barang paling suci?
Setelah beberapa kali berdiskusi dengan beberapa teman pencinta alam, umumnya mereka mengikuti apa yang sudah ada sejak dahulu tanpa mengkritisi mengapa kita perlu melakukan hal tersebut. Menurut saya, para pendahulu beberapa organisasi Mapala pada umumnya, mengimitasi perkumpulan-perkumpulan kegiatan seperti kepanduan atau Pramuka yang juga tidak kalah populernya pada masanya. Kemudian memuat kegiatan seperti Mapram (Masa Pra Bakti Mahasiswa) atau yang sekarang lebih kita kenal dengan kegiatan Ospek ke dalam proses penerimaan anggota mereka.
Dalam artikel kompas Mapram, Sekedar Menjadi “Kenangan Manis” kita melihat banyak kejadian-kejadian represif oleh senior di kampus terhadap mahasiswa baru. Hal ini pula yang diadopsi oleh beberapa organisasi Mapala melalui pengalaman lintas generasi yang tidak terputus. Sudah menjadi ciri khas organisasi Mapala di mana keanggotaannya adalah seumur hidup, oleh karena itu budaya-budaya dapat terwariskan dan bertahan lama. Namun sayangnya apa yang diwariskan tidak selalu hal baik, terdapat juga hal-hal buruk yang terus beregenerasi.
Jika belakangan kita banyak mendengar kejadian senior melakukan tindakan represif terhadap juniornya, entah itu di organisasi Mapala atau lainnya, dapat saya simpulkan akar permasalahan tersebut berasal dari apa yang mereka terima pada kegiatan Ospek dan terus diulang sampai dewasa ini.
MBKM vs Mapala
Sekali lagi saya katakan, menjadi anggota Mapala dewasa ini sangatlah menyebalkan! Tantangan yang kita hadapi cukup banyak. Belum usai 1 tantangan timbul tantangan lainnya. Salah satu yang menjadi tantangan bagi kita adalah MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) yang merupakan kurikulum yang dirancang untuk mendorong agar mahasiswa mampu menguasai pelbagai keilmuan untuk menghadapi dunia kerja.
Berproses itu butuh waktu untuk menghasilkan buah dan berhasil. Akan tetapi dengan kurikulum merdeka belajar, mahasiswa dewasa ini diperkenankan untuk lulus secepat-cepatnya dari kampus dan memasuki dunia kerja. Setelah bertahun-tahun bekerja lalu apa? Mereka akan digantikan dengan sumber daya manusia yang paling baru dan lebih muda. Lambat laun seharusnya mereka sadar bahwa proses ketika mereka berada di kampus tidak cukup matang untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka.
Menurut saya, program MBKM tidak buruk sepenuhnya, akan tetapi pastinya bermasalah bagi sistem pendidikan kita. Di Universitas Indonesia misalkan, walaupun program-program MBKM yang ditawarkan cukup variatif, dengan kondisi masyarakat yang semakin materialistis, banyak mahasiswa UI yang lebih tertarik dengan kegiatan magang MBKM dibandingkan kegiatan-kegiatan lainnya. Sehingga hal ini menjadi tidak sesuai dari tujuan awal program ini dirancang. Akhirnya mahasiswa-mahasiswa yang seharusnya belajar menjadi teralihkan fokusnya kepada kegiatan magang yang lebih menggairahkan karena mendapat bayaran dan pengalaman langsung bekerja di perusahaan-perusahaan.
Masalahnya adalah universitas tidak didesain untuk demikian! Universitas melahirkan karya, pengajar, tokoh politik, pengusaha, solusi inovatif, dan lain semacamnya yang akan membantu mengembangkan bangsa Indonesia. Jika sumber daya mahasiswanya sudah dialihkan untuk terjun langsung pada dunia kerja, maka penelitian, pengabdian masyarakat, program kemanusiaan, dan kegiatan kreatif lainnya akan semakin menghilang termasuk kegiatan Organisasi Kemahasiswaan seperti Mapala.
Kode Etik Mapalawan
10 tahun setelah Mapala UI berdiri, tepatnya 1974 disahkan kode etik pencinta alam. Adapun perjalanan terbentuknya Kode Etik Pencinta Alam merupakan salah satu proses sejarah dalam dunia pencinta alam di Indonesia. Sehingga kita sesama pencinta alam memiliki nilai-nilai yang terus dipegang teguh selama menjejaki alam bebas.
Mapala UI sendiri memiliki kode etik yang juga diwariskan oleh founding fathers/mothers Mapala UI kepada kami melalui lintas generasi. Dalam setiap perjalanan kita perlu berpegang pada nilai-nilai dasar yang disebut sebagai ‘kode etik’ mapalawan.
Terdapat 3 nilai yang harus dimiliki seorang mapalawan: pertama adalah seorang mapalawan harus hemat, sebab kondisi keuangan Mapala UI pada saat itu sangat menyedihkan sehingga kita perlu berhemat agar tetap bisa melakukan kegiatan-kegiatan di alam bebas.
Kedua, mapalawan harus jorok! Maksudnya adalah ia harus bisa makan apa saja karena kondisi kita yang tidak menentu di alam. Yang dimaksud di sini adalah tidak pilih-pilih makanan. Dan yang ketiga adalah seorang mapalawan harus bermuka tebal! Tidak boleh malu-malu dalam bertanya dan memanfaatkan koneksi demi tujuan bersama. Kebetulan juga ketiga nilai ini telah saya adopsi selama bergiat sebagai anggota Mapala UI.
Kesimpulan
Saya pernah membaca kutipan tentang kepemimpinan yang berbunyi kurang lebih seperti ini: “Selama Indonesia masih memiliki anak-anak muda yang gemar masuk ke hutan, maka calon-calon pemimpin akan terus terlahirkan.”
Untuk menjadi berbuah atau berhasil, dibutuhkan peta rencana dan kompas nilai sebagai instrumen mencapai tujuan. Hal tersebut tidak bisa didapatkan secara instan, apalagi dengan bermalas-malasan. Kita perlu berproses dalam wadah yang baik. Ada banyak wadah yang dapat membantu mengembangkan pribadi seseorang, salah satunya Mapala. Maka dari itu kita harus menjaga wadah tersebut agar tetap sehat, aman, dan nyaman untuk berproses dalam kehidupan kampus. Sudahi cara-cara kuno dalam menjalankan roda organisasi, kita adalah generasi paling muda, paling kreatif yang tentunya memiliki segudang inovasi solutif bagi permasalahan-permasalahan yang akan kita hadapi. “..terimalah dan hadapilah!” -Soe Hok Gie.
Menjadi anggota Mapala bukan sekedar berpenampilan urak-urakan dengan kemeja PDH (Pakaian Dinas Harian) Organisasi dan berstatus mahasiswa paling lama. Akan tetapi menjadi anggota Mapala berarti berprinsip untuk “hidup harus lebih dari sekedarnya” dengan berani memiliki impian dan mewujudkannya melalui cara-cara paling kreatif yang mungkin dilakukan. Jika ada 1000 tantangan yang akan menghadang kita, maka akan ada 1001 cara untuk menghadapi tantangan tersebut. Kita adalah manusia yang dikutuk untuk tidak menyerah. (faf).
Foto || Nationalgeographic
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Daftar Referensi
Badan Pengurus Mapala UI (2005) ‘Jejak Kampus di Jalan Alam, 40 Tahun Mapala UI’, in. Depok, Jawa Barat: Badan Pengurus Mapala UI, pp. 6–9.
Pudjiastuti, C. (2018) Mapram, Sekadar Menjadi ‘Kenangan manis’, kompas.id. Available at: https://www.kompas.id/baca/dikbud/2018/02/02/mapram-sekadar-menjadi-kenangan-manis (Accessed: 30 September 2024).
Wartapalaindonesia (2024) Kilas Balik Sejarah Pecinta Alam Dan Kode Etik Pecinta Alam, WARTAPALA INDONESIA. Available at: https://wartapalaindonesia.com/kilas-balik-sejarah-pecinta-alam-dan-kode-etik-pecinta-alam/ (Accessed: 30 September 2024).
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)