Oleh. Mohd Alfatih
Salah seorang pendiri Stacia UMJ. Dewan Pengarah SARMMI
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Hari ini hampir semua anggota pecinta alam di Indonesia memakai slayer sebagai pelengkap seragam organisasi pecinta alamnya. Slayer — ada juga yang menyebutnya syal — adalah kain segitiga yang dibubuhi logo organisasi. Biasanya dipakai di pundak, melingkari leher, dan ujungnya diikat di sekitar dada si pemakai.
Dulu, sebelum pergi ke alam bebas, anggota pecinta alam membawa peralatan P3K. Termasuk membawa bebat (gendongan) yang banyak dijual di apotik. Gunanya, untuk jaga-jaga kalau anggota badannya terkilir saat kegiatan di alam bebas. Tetapi kadang ada juga yang lupa membawa bebat, atau bebat yang dibawa ternyata kurang. Sebagai gantinya mereka menggunakan slayer. Lama kelamaan fungsi bebat buatan pabrik ini diganti slayer, dan ini terbukti praktis.
Slayer juga digunakan sebagai bidai. Umumnya bidai terbuat dari bahan yang kuat, tetapi ringan, seperti kayu, kemudian diikat slayer. Bidai adalah alat yang digunakan untuk mengimobilisasi tulang yang patah atau bagian tubuh yang cedera. Bidai bermanfaat mencegah pergerakan atau pergeseran dari ujung tulang yang patah, juga mengurangi rasa nyeri,
Fungsi lain dari slayer adalah untuk ikat kepala, dan sebagai tudung untuk melindungi rambut. Slayer juga berfungsi sebagai tanda kalau pecinta alam tersesat. Makanya warna slayer umumnya orange.
Orange dipilih sebagai warna slayer, bukan asal pilih. Oranye dipilih sebagai warna slayer karena warna orange mencolok, bahkan ketika suasana gelap. Warna oranye adalah warna dominan yang bisa terlihat di berbagai medan seperti hutan dan gunung.
Warna orange juga bertolak belakang dengan warna air laut. Ini akan memudahkan pencarian survivor di laut. Kalau warna putih, sulit terlihat saat ada ombak, Sedangkan warna oranye lebih mudah dilihat dengan mata telanjang sekalipun.
Di kalangan SAR, warna oranye memiliki arti tersendiri. Oranye itu berarti waspada atau siap. Penggunaan warna oranye di kalangan SAR sudah berdasarkan kesepakatan internasional.
Lantas bagaimana “nasib” slayer di kalangan pecinta alam era sekarang?
Sejujurnya, aneh bagi saya. Slayer yang dulu cuma pelengkap seragam, justru naik “kasta” menjadi benda “suci”. Slayer bahkan lebih “sakral” dibanding baju yang sejatinya merupakan seragam utama organisasi.
Slayer haram diinjak walaupun tidak sengaja. Slayer pantang kena coretan, apalagi sampai kotor kena lumpur alam bebas.
Saking sucinya, slayer bahkan tak boleh digunakan untuk melakukan pertolongan gawat darurat. Kalau ada yang terkilir, apa saja boleh dipakai, kecuali slayer.
Menaruh slayer juga tak boleh asal-asalan. Menyimpan slayer juga tak boleh sembarangan. Pokoknya, slayer harus diberlakukan sebagaimana memberlakukan benda keramat.
Sikap-sikap seperti itu tentu berlawanan dengan nilai-nilai kepecintaalaman yang menjunjung tinggi kepedulian, berpikir logis, cerdas dan saling membantu dalam melaksanakan pengabdian kepada Tuhan.
Anggota pecinta alam yang pantang menggunakan slayer untuk melakukan tindakan gawat darurat, berarti tingkat kepeduliannya patut dipertanyakan. Karena dia lebih peduli simbol organisasinya dibanding keselamatan atau nyawa orang lain yang wajib diutamakan.
Memberlakukan slayer selayaknya benda suci, patut pula diperiksa kadar nalar logis dan kecerdasannya. Ingat, slayer itu hanya secarik kain segitiga. Tak lebih dari itu. Kalaupun kain segitiga tadi dibubuhi logo organiasasi, tidak otomatis membuat slayer naik kasta sehingga menghilangkan fungsinya asalnya sebagai pelengkap seragam organisasi, sebagai bebat, sebagai ikat kepala dan tanda bila tersesat di alam bebas.
Kalau ada anggota pecinta alam yang masih mengajak atau bahkan memaksa sesama anggota memberlakukan slayer berlebihan, berarti dia tidak saling membantu dalam melaksanakan pengabdian kepada Tuhan. Dia justru menjerumuskan temannya. Ujung-ujung bisa syirik berjamaah. Ini bahaya.
Momen 51 tahun Kode Etik Pecinta Alam, selayaknya menjadi gerakan massal untuk mengembalikan slayer ke “khitahnya”. Yaitu, seperti yang sudah diuraikan di atas. (*).
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Foto || SARMMI
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)