Caption foto : Tradisi-tradisi di Mapala pada dasarnya lahir dari ide/gagasan yang kemudian disepakati bersama secara sosial, dan dijalankan terus menerus secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. (WARTAPALA INDONESIA / Mata Alam Unfari).
Oleh : Wandi Wahyudi, WI 200223
Anggota Luar Biasa (ALB) Mata Alam Unfari Bandung)
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Kehidupan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala), tidak dapat dilepaskan dari tradisi-tradisi yang membuatnya tampil berbeda dari organisasi mahasiswa lainnya. Setiap Mapala memiliki tradisinya masing-masing sebagai wujud kongkret praktik kebudayaan yang dijalankan secara konsisten.
Kata “tradisi” berasal dari bahasa Latin “traditio”, yang berarti “penyerahan” atau “penerusan”. Kata dasar “traditio” adalah “tradere”, yang terdiri dari “trans” (melalui, melintasi) dan “dare” (memberi).
Secara harfiah, “traditio” berarti “menyerahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Ini mencerminkan esensi dari tradisi sebagai sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini.
Secara terminologi, “tradisi” mengacu pada himpunan kebiasaan, praktik, kepercayaan, dan nilai-nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial. Tradisi dapat mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk adat istiadat, bahasa, seni, ritual, dan kepercayaan.
Dalam konteks Mapala sebagai organisasi, setidaknya terdapat dua garis besar tradisi yaitu tradisi formal dan tradisi kultural.
Tradisi formal, atau dalam theories of human communication, Stephen W Littlejohn menyebutnya sebagai tradisi posisional, yaitu tradisi yang menitikberatkan pada struktur dan peran-peran formal dalam organisasi. Pendekatan yang dipergunakan oleh tradisi ini adalah pendekatan struktural, yang mendefinisikan sebuah organisasi sebagai sebuah kumpulan yang stabil dari hubungan-hubungan yang didefinisikan secara formal.
Ditinjau dari perangkat organisasi, Mapala memiliki Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk Diklatsar, Mabim, dan pengembaraan. Satu lagi yang tidak kalah penting adalah Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) yang menjadi pedoman kerja organisasi.
Fakta menarik (fun fact) yang tidak banyak mahasiswa lain ketahui, di balik stigma yang sering dilekatkan terhadap Mapala seperti : anggota Mapala itu begajulan, kerjanya nongkrong, meremehkan akademik, banyak “penyimpangan” dan lain-lain. Ternyata mereka cukup serius dan disiplin menjalankan praktik-praktik formal organisasi. Mulai dari penyikapan terhadap AD/ART, SOP, dan mekanisme-mekanisme kerja organisasi lainnya.
Jika diambil salah satu contoh — misal Diklatsar — bukanlah perkara mudah mengorganisir kegiatan Diklatsar yang dilaksanakan selama berhari-hari di hutan dengan resiko yang sangat tinggi. Tentu dimulai dari pembentukkan kepanitiaan, pematangan konsep dari yang abstrak sampai ke teknis, perencanaan anggaran (budgeting), pembagian tugas yang jelas, survei lapangan, penetapan pencapaian pendidikan, membangun pola komunikasi di lapangan, mekanisme komunikasi laporan terhadap kampus dan orang tua siswa, mitigasi resiko (emergency), manajeman konsumsi, pembagian peran di lapangan, dsb.
Dengan tingginya resiko yang dihadapi, kedisiplinan terhadap mekanisme kerja organisasi menjadi sangat penting. Kedisiplinan itulah tradisi formal yang harus dirawat. Di samping itu, ada tradisi kultural yang tidak kalah penting untuk terus dilestarikan. Kajian sentral dalam tradisi ini adalah tentang simbol-simbol dan pengertian yang membentuk suatu organisasi.
Tradisi ini memahami bahwa dunia organisasi diciptakan oleh anggotanya dalam cerita-cerita, ritual-ritual, dan pekerjaan tugas. Struktur organisasi sesunguhnya tidak dirancang sebelumnya tetapi muncul dari tindakan-tindakan anggotanya secara informal dalam aktifitas mereka sehari-hari.
Tradisi kulutral ini hidup, tumbuh dan berkembang seiring dengan berjalannya organisasi. Tradisi kultural memberikan warna lain dari organisasi yang terkesan formalistik. Di Mata Alam Universitas Al-Ghifari Bandung misalnya, ada kopi darat (kopdar) yang rutin dilaksanakan selama satu kali dalam satu minggu.
Kopdar adalah forum bebas yang dapat dihadiri oleh semua anggota. Kopdar bisa menjadi media pemersatu yang dapat menghadirkan suasana keakraban antar anggota, forum komunikasi lintas generasi, sarana bagi ide/gagasan baru, dan dapat juga dijadikan sebagai sarana untuk penyelesaian konflik internal organisasi.
Selain itu, ada juga tradisi “salam penghormatan”. Pengejawantahan salam penghormatan ini adalah dengan melakukan 10 kali push up + 10 kali back up, dan itu berlaku sama bagi seluruh anggota, terlepas dari lintas angkatan.
Secara filosofis, tradisi itu memiliki makna kesetaraan. Bahwa secara ontologis (hakikat dasar) statusnya sama, yaitu anggota. Hanya saja yang membuatnya menjadi beda adalah karena adanya pembagian kerja secara formal. Sehingga setiap anggota akhirnya akan berperan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang di emban.
Masih banyak lagi tradisi-tradisi di Mapala yang unik dan tentunya berdampak positif terhadap kehidupan organisasi. Tradisi-tradisi itu pada dasarnya lahir dari ide/gagasan yang kemudian disepakati bersama secara sosial, dan dijalankan terus menerus secara berkelanjutan dari generasi ke generasi.
Keberagaman jenis dan ekspresi kebudayaan dari setiap organisasi Mapala adalah realitas kongkret yang menandakan bahwa Mapala merupakan organisasi yang kreatif dan inovatif.
Dengan demikian, tradisi di Mapala merupakan perkawinan antara organisasi dan kebudayaan. Organisasi dan kebudayaan dihidupkan oleh aktivitas-aktivitas relasional yang rutin terjadi di Mapala, terutama di tongkrongan. Ruang bebas yang konstruktif memberikan keleluasaan bagi anggota Mapala untuk mencipta ide/gagasan baru yang berguna bagi kehidupan organisasinya. Dan tradisi adalah ekspresi yang lahir dari perspektif organisasi dan kebudayaan.
Tradisi-tradisi itu kemudian menjadi ciri khas sebagai wujud dari jati diri organisasi. Sehingga menjaga, merawat, dan menjalankan tradisi yang positif, konstruktif, dan transformatif adalah suatu keharusan agar organisasi Mapala dapat eksis di segala rintangan peradaban. (WW).
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)